Menteri Agama telah menyampaikan usulan besaran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) Tahun 1444 H/2023 M kepada Komisi VIII DPR, 19 Januari lalu, dengan besaran BPIH rata-rata per jemaah sebesar Rp 98.893.909,11. Secara total, BPIH tahun ini naik sebesar Rp 514.888,02 dibandingkan dengan BPIH tahun 1443 H/2022 M.
Perhatian publik tertuju pada besaran Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) rata-rata per jemaah yang diusulkan naik signifikan hingga hampir Rp 30 juta dibandingkan tahun lalu, yaitu menjadi sebesar Rp 69.193.734 yang awalnya rata-rata sebesar Rp 39.886.009.
Usulan komposisi BPIH tahun 2023 mengalami perubahan drastis menjadi 70:30 --70% dibebankan langsung kepada jemaah atau yang disebut dengan Bipih dan 30% dibebankan kepada dana Nilai Manfaat Keuangan Haji dari hasil investasi keuangan haji yang dikelola BPKH.
Perdebatan dan diskursus muncul memenuhi ruang publik terkait biaya haji di berbagai media, obrolan antar personal, maupun di media sosial.
Di satu sisi, diskursus ini membawa efek positif, yaitu adanya sosialisasi dan edukasi massal kepada para jemaah haji mengenai komposisi biaya haji, bahwa biaya haji tidak murni dibiayai oleh dana Bipih yang dibayarkan jemaah, tetapi juga oleh dana Nilai Manfaat, yang sebelumnya masih belum banyak dipahami secara luas.
Namun, di sisi lain, ada banyak kejanggalan dari berbagai argumen yang disampaikan, yang mayoritas berupaya menafsirkan pengaturan mengenai BPIH dari perspektif masing-masing individu.
Menteri Agama pada paparan di Komisi VIII DPR menyampaikan: "Untuk memenuhi prinsip keadilan dan keberlangsungan dana haji, pemerintah telah menyusun formulasi pembebanan BPIH tahun 1444 H/2023 M yang telah melalui proses kajian. Kebijakan formulasi komponen BPIH tersebut diambil dalam rangka menyeimbangkan antara besaran beban Jemaah dengan keberlangsungan dana nilai manfaat BPIH di masa yang akan datang. Pembebanan Bipih harus menjaga prinsip istitha'ah dan likuiditas penyelenggaraan ibadah haji tahun-tahun berikutnya."
Dengan demikian, dari paparan tersebut, ada tiga alasan utama naiknya Bipih, yaitu: (1) prinsip keadilan, (2) keberlangsungan dana haji, dan (3) prinsip istitha'ah.
Keadilan bagi Jemaah
Aspek keadilan merupakan salah satu prinsip penyelenggaraan ibadah haji sebagaimana diamanatkan pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.
Apa itu keadilan? Disebutkan dalam penjelasan UU, bahwa keadilan bermakna: "Berpegang pada kebenaran, tidak berat sebelah, tidak memihak, dan tidak sewenang-wenang."
Dari makna keadilan tersebut, secara jelas bahwa yang disebut adil indikatornya adalah berpegang pada kebenaran, tidak berat sebelah, tidak memihak, dan tidak sewenang-wenang.
Jika disebutkan bahwa usulan tersebut untuk keadilan jemaah haji, maka siapakah yang disebut dengan jemaah haji? Mari kita dudukkan terminologinya sejelas mungkin.
Definisi dari jemaah haji, menurut Ketentuan Umum UU Nomor 8 tahun 2019 adalah: "Warga negara yang beragama Islam dan telah mendaftarkan diri untuk menunaikan Ibadah Haji sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan."
Siapapun yang beragama Islam dan telah mendaftar, atau mendapatkan nomor porsi antrean haji, maka ia adalah jemaah haji. Jemaah haji dalam pengertian ini mencakup jemaah haji yang akan berangkat di tahun berjalan dan juga Jemaah haji tunggu yang akan berangkat di tahun-tahun mendatang.
Maka, terma "keadilan bagi jemaah haji" harus mencakup keadilan terhadap jemaah haji yang akan berangkat di tahun berjalan dan juga keadilan bagi jemaah haji tunggu.
Ketika dinaikkan secara signifikan biaya haji pada 2023, maka berpotensi mengganggu prinsip keadilan bagi jemaah haji yang akan berangkat di tahun berjalan.
Kenapa demikian? Karena jemaah haji di tahun-tahun sebelumnya diberikan Nilai Manfaat dana haji, atau katakanlah "subsidi" --meskipun istilah ini tidak tepat karena tidak tercantum dalam Undang-Undang-- yang lebih besar, sementara jemaah haji yang akan berangkat dan jemaah tunggu diberikan alokasi nilai manfaat yang sedikit.
Tidak menutup kemungkinan, pada tahun-tahun mendatang komposisi 70:30 akan berubah juga menjadi 80:20 misalnya, atau bahkan full costing, nanti jemaah membayar 100% biaya haji, tidak ada lagi nilai manfaat keuangan haji yang dialokasikan untuk BPIH. Di sinilah letak potensi ketidakadilan.
Keberlangsungan Dana Haji
Kementerian Agama pernah menyampaikan chart perbandingan penggunaan nilai manfaat dan Bipih sejak dari 2010 hingga 2023. Pada 2010, misalnya, nilai manfaat dana haji hanya menggunakan sebesar rata-rata Rp 4,45 juta dan Bipih dari jemaah sebesar Rp 30,05 juta. Jemaah membayar lebih besar daripada alokasi nilai manfaat dana haji.
Namun, perlu diingat bahwa sebelum 2010, setoran awal pendaftaran haji adalah sebanyak Rp 20 juta. Baru sejak 2010 diterapkan kenaikan besaran Setoran Awal menjadi Rp 25 juta, sehingga dana haji yang dikelola masih sedikit, otomatis nilai manfaatnya juga sedikit.
Hal tersebut terbukti, pada 2011, setelah dikenakan Setoran Awal Pendaftaran Haji, penggunaan Nilai Manfaat untuk biaya haji menjadi naik, per jemaah rata-rata Rp 7 jutaan. Begitu pun seterusnya pada tahun-tahun berikutnya. Mengikuti tren kenaikan perolehan nilai manfaat dari pengelolaan keuangan haji.
Pertanyaan mendasarnya, berapakah maksimal penggunaan Nilai Manfaat Keuangan Haji untuk BPIH yang diperbolehkan?
Dalam Undang-Undang maupun peraturan turunan dari UU Pengelolaan Keuangan Haji tidak ada norma yang mengatur besaran persentase dari Nilai Manfaat Keuangan Haji yang harus dialokasikan untuk Penyelenggaraan Ibadah Haji (Silakan dicek UU Nomor 34 Tahun 2014 dan PP Nomor 5 Tahun 2018).
Norma yang ada adalah pengaturan dalam Pasal 21 PP Nomor 5 Tahun 2018 bahwa pengeluaran Penyelenggaraan Ibadah Haji bersumber dari:
a. Saldo BPIH dan/atau BPIH Khusus dari jemaah haji yang menunaikan ibadah haji pada tahun berjalan; dan
b. perolehan nilai manfaat tahun berjalan.
Perhatikan poin b di atas, PP ini bahkan mengatur bahwa perolehan nilai manfaat tahun berjalan dipergunakan untuk penyelenggaraan ibadah haji. Tidak ada batasan persentase di dalamnya. Jika digunakan seluruhnya pun nilai manfaat tahun berjalan, maka masih sesuai dengan peraturan yang ada.
Pada 2022, Nilai Manfaat Keuangan Haji diperoleh sebesar Rp 10.13 Triliun dan pada 2023 (tahun berjalan) diproyeksikan sebesar Rp 10.8 Triliun.
Jika mengacu kepada norma PP di atas, Rp 10.8 triliun inilah yang dapat digunakan untuk membiayai penyelenggaraan ibadah haji. Atau riilnya adalah setelah dikurangi alokasi Virtual Account Rp 2.1 Triliun dan Biaya Operasional BPKH sebesar Rp 386.9 Miliar.
Maka, total Nilai Manfaat Dana Haji yang dapat digunakan adalah Rp 8.3 Triliun atau 42% dari total biaya yang diusulkan pada BPIH pada 2023. Apalagi jika komponen-komponen BPIH dapat diefisiensi tanpa mengurangi kualitas pelayanan, komposisi Nilai Manfaat dapat lebih dari 42%.
Dari laporan keuangan BPKH, jangan khawatir dana nilai manfaat keuangan haji akan habis. Masih ada nilai manfaat tertahan sebesar Rp 15.2 Triliun, yaitu dari Nilai Manfaat dua tahun tidak ada penyelenggaraan ibadah haji, yaitu nilai manfaat pada 2020 dan 2021.
Hal ini didukung oleh hasil kajian dari BPKH sendiri, yang disampaikan kepada Komisi VIII DPR oleh Dewan Pengawas BPKH mengenai Keberlangsungan Keuangan Haji.
BPKH memiliki rencana dalam menjaga keberlangsungan keuangan haji adalah dengan mengusulkan kenaikan Setoran Awal dari Rp 25 juta menjadi Rp 30 juta atau Rp 35 juta sehingga dana kelolaan menjadi bertambah dan nilai manfaat pun akan bertambah. Selain itu, usulan kenaikan Bipih pun tidak lebih dari 10.75% sampai 11% tiap tahun dan perolehan nilai manfaat dijaga minimal pada persentase 6.5% per tahun.
Pada 2028, dari hasil kajian rencana strategis tersebut akan terjadi surplus. Keuangan haji menjadi sustain pada tahun tersebut. Meskipun sejak 2023 sampai 2027 terjadi minus atau unsustain, namun masih dapat ditutupi dari Nilai Manfaat Keuangan Haji ditahan dari dua tahun nilai manfaat tidak ada penyelenggaraan haji.
Itu dari kajian BPKH sendiri, namun kenapa BPKH pada tahun ini mengabaikan hasil kajiannya sendiri?
Dalam hal ini, pemerintah perlu merumuskan regulasi (bisa dalam bentuk revisi PP Nomor 5 tahun 2018 atau merevisi UU-nya) yang mengatur mengenai besaran persentase penggunaan Nilai Manfaat Keuangan Haji tahun berjalan yang dapat digunakan, agar tidak ada lagi penafsiran-penafsiran liar di luar ketentuan peraturan yang ada.
Ketidakstabilan kehidupan sosial dan perdebatan yang tidak perlu sesungguhnya muncul disebabkan tidak ada kepastian hukum, yaitu kosongnya pengaturan yang pasti dalam suatu isu.
BPKH perlu terus didorong untuk bukan saja fokus pada masalah pengeluaran, tetapi juga bagaimana meningkatkan pemasukan. Instrumen investasi perlu diperluas, bukan terbatas pada Sukuk dan penempatan di bank-bank syariah, tetapi menambah alokasi ke investasi langsung, seperti investasi untuk sarana dan prasarana perhajian di Arab Saudi yang saat ini terbuka lebar dengan return yang lebih tinggi.
Konsep Istitha'ah
Alasan ketiga Kemenag dalam menaikkan Bipih adalah prinsip istitha'ah. Terdengar merdu dan mengacu pada syariat, namun ada celah kesalahan logika dan dalil.
Kesalahan logikanya, jika istitha'ah ditafsirkan bahwa jemaah haji yang memenuhi syarat istitha'ah adalah yang "mampu membayar seluruhnya" atau full costing, maka bubarkan saja jenis Haji Reguler yang tiap tahun selalu "disubsidi" dari nilai manfaat. Alihkan semua ke Haji Khusus. Golongan Haji Khusus adalah yang sangat sesuai dengan prinsip istitha'ah. Mereka tidak ada subsidi sedikit pun dari Nilai Manfaat Keuangan Haji. Murni dari uang sendiri.
Alasan ini juga berpotensi meragukan kesahan para jutaan jemaah haji yang telah menunaikan haji di tahun-tahun sebelumnya. Jemaah haji di tahun-tahun sebelumnya, baik menggunakan sedikit nilai manfaat keuangan haji maupun banyak, tetap sama.
Jika mengacu pada pengertian bahwa istitha'ah adalah mampu secara full finansial, bagaimana dengan status jemaah haji yang lalu-lalu itu? Bagaimana juga dengan haji yang dibiayai dinas? Atau haji yang dibiayai sanak saudaranya? Apakah itu keluar dari konsep istitha'ah?
Alasan yang terlalu dipaksakan berpotensi membawa kerancuan pada cara berpikir dan cara memperlakukan orang lain.
Berapakah nanti komposisi biaya haji akan ditetapkan, harus kita tunggu pada tanggal penetapannya. Yang pasti, pertimbangan kebijakan harus tetap berdasarkan pada peraturan yang ada serta sesuai dengan amanat Undang-Undang, yaitu untuk sebesar-besarnya kepentingan jemaah haji.
Harja Saputra Tenaga Ahli Alat Kelengkapan Dewan Komisi VIII DPR