Papua tak pernah kehabisan topik untuk dibahas. Dari mulai isu berbagai gerakan separatisme yang mengganggu kestabilan wilayah, isu korupsi oleh elite politik lokal, isu sosial dan ketimpangan, dan berbagai dinamika ekonomi yang mengundang debat. Di saat bersamaan, berbagai pesona alam yang memukau juga senantiasa menjadi buah bibir kebanggaan wilayah. Papua yang dikenal dengan potensi alam yang terkandung di dalamnya, tidak hanya muncul sebagai potensi penguatan ekonomi lokal, namun juga yang digadang sebagai sumber konflik yang kerap lestari di Bumi Cendrawasih.
Berbagai pendekatan dan praktik kebijakan juga terus diupayakan demi mendongkrak perkembangan zamrud hijau di timur Indonesia ini. Demi mewujudkan misi Sustainable Development Goals (SDGs) untuk memastikan no one left behind, pemerintah pusat bersama dengan pemerintah daerah dan berbagai tokoh adat setempat mengambil langkah besar untuk memekarkan Papua menjadi beberapa provinsi baru. Melalui Undang-Undang Nomor 14, 15, dan 16 Tahun 2022, DPR RI mengetuk palu menandakan tiga daerah otonomi baru (DOB) di Papua resmi terbentuk. Upaya ini juga merupakan ikhtiar besar untuk mengoptimalkan dana otsus bagi kepentingan masyarakat dan percepatan pembangunan di timur Indonesia.
Kini Provinsi Papua yang sebelumnya menjadi provinsi terluas di Indonesia, telah mekar menjadi 4 provinsi: satu provinsi induk Provinsi Papua, dan tiga DOB Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan. Dengan dibentuknya DOB, maka peta potensi wilayah masing-masing provinsi juga turut bertransformasi. Garda depan optimalisasi anggaran berupa pemekaran wilayah sudah diluncurkan, maka upaya lanjutan untuk mewujudkan kesetaraan pembangunan juga harus segera dikejar. Yang paling utama yakni memetakan ulang potensi masing-masing provinsi sebelum meluncurkan strategi praktik untuk pembangunan.
Perubahan Potensi
Provinsi Papua sebagai wilayah induk yang kian lama dikenal dunia dengan kekayaan bawah tanahnya berupa pertambangan, kini harus mengubah citra tersebut. Provinsi Papua pasca pemekaran terdiri dari sembilan kabupaten yang terletak di wilayah pesisir utara Papua. Kesembilan provinsi tersebut minim potensi pertambangan. Walaupun beberapa riset dari Pusat Teknologi dan Konservasi Energi BPPT (2012), memetakan beberapa titik potensi pertambangan nikel yang terletak di Kabupaten Mamberamo Raya, namun hingga 2022 potensi tersebut masih belum beroperasi secara komersial.
Melirik dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Papua pasca pemekaran (hanya 9 kabupaten/kota), potensi ekonomi Provinsi Papua kini banyak ditopang oleh sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan. Di mana share dari sektor ini terhadap PDRB masing-masing wilayahnya berkisar antara 15 hingga 20 persen (BPS, 2022). Dengan melihat kontribusi dari lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan yang mendominasi di Provinsi Papua, maka jelas citra ekonomi lokal Provinsi Papua pasca pemekaran kini tidak lagi bertumpu pada kilauan mineral bawah tanah, tetapi potensi hijau di daratan dan lautan sesuai dengan topografi mayoritas wilayah Provinsi Papua yang terhampar di wilayah pesisir.
Peluang Besar
Selain punya sumbangsih besar bagi pertumbuhan ekonomi pasca pemekaran, sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan di Papua lekat dengan aktivitas ekonomi rakyat. Lapangan usaha ini menjadi kantong penyerap tenaga kerja terbesar di Provinsi Papua. Berdasarkan BPS (2022), tercatat pada Agustus 2022, lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan menyerap 71,49 persen dari seluruh penduduk bekerja di Papua. Melihat histori statistik penduduk usia 15 tahun ke atas yang berstatus kerja di Papua pada tahun sebelumnya (2020 dan 2021), penyerapan peningkatan tenaga kerja pada sektor ini masih memegang rekor tertinggi dibandingkan penyerapan tenaga kerja pada sektor lainnya.
Kembali melihat potensi hijau Provinsi Papua pasca pemekaran, sejatinya ini menjadi peluang besar untuk melepaskan diri dari jerat kemiskinan. Sebagaimana riset oleh Sayuti (2019) di wilayah NTB, yang melihat bagaimana provinsi tersebut secara drastis menurunkan persentase kemiskinannya hampir mencapai 10 persen dalam kurun waktu sewindu. Riset tersebut membuktikan bagaimana pemerintah lokalnya melakukan terobosan dengan memanfaatkan sumber daya lokal yang bertumpu pada sektor pertanian hingga akhirnya mampu mengurangi tingkat kemiskinan secara optimal. Mengaca pada keberhasilan tersebut, maka kini Provinsi Papua pasca pemekaran memiliki peluang yang sama untuk mengentaskan kemiskinan dengan memberdayakan potensi pertanian, kehutanan, dan perikanannya.
Pengentasan Kemiskinan
Provinsi Papua sebelum pemekaran kerap menjadi jawara dalam persentase penduduk miskin tertinggi se-Indonesia. Hingga September 2022, persentase penduduk miskin Papua masih yang tertinggi di level 26 persen yang berarti satu dari empat orang di Papua adalah rakyat miskin. Melihat histori kemiskinan di Papua, progres pengentasan kemiskinan berjalan sangat lambat. Dalam 10 tahun terakhir (2012 ke 2022), penurunan kemiskinan di Papua bahkan tidak mencapai lima persen (BPS, 2023). Sehingga pengentasan kemiskinan harus menjadi prioritas pembangunan yang utama demi penyetaraan kesejahteraan rakyat se-Indonesia. Demi mewujudkan no one left behind.
Untuk itu rebranding potensi lokal Papua dari mineral ke pertanian sejatinya harus menjadi mesin penggerak utama untuk mengentaskan kemiskinan di Provinsi Papua. Lapangan usaha ini seharusnya bisa menjadi motor penggerak pengentasan kemiskinan, terutama karena lebih dari separuh penduduk Papua bekerja pada sektor ini.
Namun sangat disayangkan, besarnya kontribusi ekonomi sektor ini tidak mencerminkan kesejahteraan para tenaga kerja yang terserap di lapangan usaha pertanian, kehutanan, dan perikanan. Kesejahteraan penduduk yang bekerja pada sektor ini masih cukup memprihatinkan. Rumah tangga pertanian masih menjadi keluarga yang rentan masuk ke lingkaran kemiskinan, hal ini sejalan dengan distribusi keluarga miskin pada sektor pertanian yang mendominasi dibanding pada sektor lainnya (Hermawan, 2012).
Kesejahteraan Petani
Terlepas dari kontribusi pertanian pada perekonomian regional, kesejahteraan petani atau penduduk yang bekerja di sektor pertanian khususnya di Papua masih sangat memprihatinkan. Terlihat dari Nilai Tukar Petani (NTP) di Papua sebesar 99,46 pada Agustus 2022 yang menunjukkan bahwa indek harga yang dibayarkan petani lebih besar dibandingkan indeks harga yang diterima oleh petani. Yang lebih memprihatinkan lagi, terlihat jelas bahwa kelima subsektor pertanian semuanya menunjukkan penurunan NTP pada periode yang sama. Subsektor perikanan merupakan item yang mengalami penurunan NTP terdalam diikuti dengan subsektor hortikultura (BPS, 2023).
Rendahnya nilai NTP Papua menjadi indikator bahwa pemanfaatan potensi pertaniannya masih sangat rendah. Tentu harusnya ini menjadi refleksi mendalam bagi Provinsi Papua pasca pemekaran. Momen pemekaran DOB ini semestinya menjadi batu loncatan untuk bisa memetakan ulang dan mengatur kembali prioritas pembangunan sesuai dengan potensi daerah. Provinsi Papua khususnya yang memiliki potensi pertanian terbesar di timur Indonesia harus mampu memberdayakan potensi ini secara optimal untuk percepatan pengentasan kemiskinan dan akselerasi pembangunan daerah.
Jangan sampai arah strategi pembangunannya tidak sejalan dengan potensi wilayah yang ada, sehingga cita-cita luhur yang dimulai dengan melanjutkan status daerah otonomi khusus dan pemekaran DOB menjadi tersiakan hanya karena salah memetakan strategi pembangunan. Ayo, bersama-sama mengenal potensi daerah yang ada dan bersama berkolaborasi membangun Papua yang lebih baik!
Simak juga 'Mahfud-Bamsoet Bahas Persiapan Pemilu di 4 Provinsi Baru Papua':
(mmu/mmu)