Begitu ramai sorakan pengunjung sidang, menggambarkan suara publik yang puas dengan hukuman yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kurang lebih hampir enam bulan penuh dengan drama kini berakhir dengan vonis mati. Sebagaimana dalam persidangan dinyatakan Ferdy Sambo telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana pembunuhan berencana sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP.
Ungkapan demikian di atas dilantunkan oleh hakim yang mengadili kasus Ferdy Sambo tentu dengan berdasarkan pada konstruksi berpikir secara yuridis serta ditambah dengan keyakinan hakim. Dengan kata lain, hakim menilai pada alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP yang terdiri dari Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk dan Keterangan Terdakwa.
Dari pasal yang dijelaskan tersebut hakim menilai apakah alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP itu saling berkesesuaian atau tidak. Sehingga ketika hakim menilai saling berkesesuaian, maka putusanya demikian, namun jika hakim dalam penilaiannya tidak saling berkesesuaian, maka ada dua pilihan hakim: memutus bebas, memutus lepas dari segala tuntutan
Kondisi demikian itu akan mengantarkan pada bagaimana hakim dalam pengambilan keputusan. Tak heran jika dalam sebuah putusan hakim, ada yang di bawah tuntutan jaksa, dan ada pula yang melebihi tuntutan jaksa --yang dikenal dalam bahasa hukum pidana sebagai ultra petitum dan ultra petita. Lantas muncul pertanyaan di kalangan masyarakat, apakah boleh hakim memutus di luar tuntutannya jaksa? Apakah itu adil?
Pernah Dilakukan
Secara historis Putusan Ultra Petita sudah pernah dilakukan oleh hakim terdahulu antara lain Baqir Manan, (alm.) Artidjo Alkostar, dan yang terakhir ini hakim yang mengadili dan memutus Ferdy Sambo. Maka secara mutatis mutandis Putusan Ultra Petita dibenarkan dalam lapangan hukum pidana. Mengingat, sistem hukum Indonesia tidak terpaku pada civil law (undang-undang menjadi sumber hukum) tetapi juga bermuara pada common law (yang didasarkan pada yurisprudensi).
Dengan demikian pengambilan putusan oleh hakim yang memeriksa dan mengadili Ferdy Sambo ini mengikuti putusan hakim terdahulu dalam konteks putusan di luar tuntutan jaksa. Sehingga konstruksi berpikir hakim tersebut sejalan dengan apa yang diutarakan oleh Prof. Satjipto Rahardjo yang dikenal dengan konsep teori hukum progresifnya. Yang pada intisarinya hukum tidak hanya dimaknai secara tekstual saja.
Secara normatif KUHAP tidak mengatur secara tegas bahwa putusan pemidanaan harus sesuai ataupun di bawah dari tuntutan jaksa dan tidak diperbolehkan melebihi tuntutan. Oleh karena itu rujukan normatif hakim dalam mengambil putusan harus berdasarkan pada Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Hal ini diatur pada Pasal 182 ayat 4 KUHAP: Hakim dalam membuat suatu putusan didasarkan pada 2 hal yaitu surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan sidang pengadilan.
Pasal 182 ayat 4 KUHAP inilah sebagai titik anjak hakim dalam membuat sebuah putusan pidana. Perbedaannya terletak di sanksi pidana yang diterapkan; terhadap putusan Ferdy Sambo tersebut hanya berkaitan pada penerapan berat-ringanya sanksi yang diberikan. Mengutip pendapat Mantan Hakim Agung Yahya Harahap: "Hakim dalam menjatuhkan berat-ringannya hukuman pidana (strafmaat) yang akan dikenakan oleh terdakwa adalah bebas."
Dengan kata lain, penerapan pasal yang ada pada surat dakwaan berbeda dengan penerapan pasal pada saat putusan hakim.
Muhammad Ridha, SH,MH praktisi hukum dan pengamat hukum pidana, alumni Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Lihat juga Video: Polri Bicara Nasib Richard Eliezer di Kepolisian