Sambo Dipidana Mati, Semua "Happy"

ADVERTISEMENT

Kolom

Sambo Dipidana Mati, Semua "Happy"

Krisna Harahap - detikNews
Kamis, 16 Feb 2023 14:00 WIB
krisna harahap
Krisna Harahap
Jakarta -

"Pidana mati" yang diucapkan oleh hakim Wahyu Iman Santosa yang menjadi Ketua Majelis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengadili terdakwa Ferdy Sambo, disusul ketukan palu sidang, disambut gembira serta teriakan histeris pengunjung. Pidana mati itu dianggap sudah sepantasnya dijatuhkan kepada mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri itu. Perwira Polri berbintang dua itu dituduh telah melakukan pembunuhan dengan direncanakan lebih dahulu terhadap bawahannya yakni Brigadir Yoshua, sehingga memenuhi semua unsur yang diatur dalam Pasal 340 KUHP.

Pengunjung membayangkan bahwa hidup KaDiv Propam yang amat disegani oleh setiap anggota Polri itu akan berakhir manakala senjata laras panjang regu tembak di Nusakambangan nanti memuntahkan pelurunya. Untuk memastikan kematiannya, Komandan Regu akan menembak dengan pistolnya, sehingga terpidana mati dapat dipastikan telah mengakhiri hidupnya. Tindakan Komandan Regu tembak ini dibutuhkan karena tidak setiap senjata laras panjang yang dimiliki regu tembak berisi peluru tajam. Ada di antaranya yang berisi peluru hampa. Dengan demikian,setiap anggota regu tembak tidak dapat memastikan peluru siapa sebenarnya yang telah menembus tubuh si Terpidana Mati. Tindakan ini perlu untuk memupus perasaan "dosa" karena telah mengakhiri hidup seseorang.

Seperti diatur dalam Pasal 28 A Konstitusi kita, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak hidup itu dijamin oleh negara. Setiap orang berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Jaminan akan hak hidup ini dijabarkan pula dalam UU HAM kita. Di dalam Pasal 1 UU No.39 Tahun 1999. Kendati demikian hukuman mati itu oleh para hakim bukan hal yang tabu untuk dijatuhkan. Ada seperangkat peraturan perundang-undangan di negeri ini yang membenarkan ketukan palu mereka.

Sebagai warisan kolonial, hukuman mati itu ditetapkan dalam Pasal 10 jo 11 KUHP. Sedang pelaksanaannya diatur dalam Perpres No.2 Tahun 1964. Hingga kini, diperkirakan lebih dari 400 Narapidana sedang menanti pelaksanaan hukuman mati itu. Kebanyakan dari mereka dijatuhi hukuman mati karena terbukti melakukan kejahatan Narkoba dan Terorisme. Ada di antara mereka yang sudah lebih dari 20 tahun menanti timah panas regu tembak. Suatu penantian panjang, yang merupakan hukuman tersendiri.

Mengapa belum juga di-dor?

Seseorang yang sudah dijatuhi hukuman mati seperti Fredy Sambo tidak dengan serta merta akan mengakhiri hidupnya di depan regu tembak. Putusan pidana mati yang dijatuhkan kepada Jenderal Polisi itu belum bersifat in kracht. Artinya belum bersifat pasti dan tetap. Sambo masih memiliki celah untuk menghindarinya, dengan menggunakan haknya yakni upaya hukum berupa banding. Ia diberi waktu, dalam 7 hari mengajukan permohonan.

Pengadilan Tinggi yang menerima banding dapat saja mengubah atau membatalkan putusan Pengadilan Negeri (PN) yang menjatuhkan putusan pidana mati itu. Seandainya permohonan Sambo ditolak, itu berarti Pengadilan Tinggi (PT) memperkuat putusan Pengadilan Negeri. Sampai di sini, Sambo masih punya hak lain. Dia diperkenankan mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung dalam waktu 14 hari.

Di Mahkamah Agung yang dikenal sebagai Yudex Juris, fakta-fakta persidangan tidak lagi diperiksa dan putusannya sudah dianggap bernilai pasti dan tetap. Majelis Hakim hanya meneliti (Pasal 253 KUHP) apakah:

a. benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan sebagaimana mestinya;

b. apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan uu;

c. apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.

Manakala Majelis Kasasi sependapat dengan putusan PN dan PT, asa Ferdy Sambo belum juga akan berakhir. Dia masih mempunyai hak yakni menggunakan upaya hukum luar biasa yakni Peninjauan Kembali. Siapa tahu Terpidana menemukan bukti baru (novum). Di sini putusan Kasasi diteliti kembali. Mungkin saja novum yang diajukan oleh Terpidana benar-benar membuktikan hal baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika hal itu sudah diketahui sebelumnya pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau lepas atau lebih ringan.

Permohonan Terpidana juga akan diterima oleh Majelis kalau ditemukan adanya putusan Hakim yang bertentangan satu dengan lainnya atau apabila putusan hakim jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata (Pasal 263 KUHAP).

Proses Terdakwa mencari keadilan terhadap dirinya, selain tidak mudah dan murah tetapi juga membutuhkan waktu yang lama. Bukan dalam bilangan minggu atau bulan. Pasti dalam bilangan tahun. Ambil saja sebagai contoh Setya Novanto yang dijatuhi pidana penjara 15 tahun karena menerima suap dalam perkara E-KTP. Ia mengajukan Peninjauan Kembali awal tahun 2020. Sekarang sudah tahun 2023. Sudah 3 tahun, perkaranya belum juga diperiksa.

KUHP baru

Dengan diundangkannya KUHP baru pengganti KUHP warisan kolonial, ketentuan mengenai hukuman mati mengalami perubahan. Walaupun Konstitusi kita menjamin hak hidup setiap orang, tetapi pidana mati tidak dienyahkan dari kitab undang-undang dengan alasan bahwa hukuman itu merupakan upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dan untuk mengayomi masyarakat. Karena itu, hukuman mati tetap berlaku, walaupun dengan persyaratan:

1. Kalau permohonan grasi ditolak oleh Presiden;

2. Manakala dalam tenggang waktu 10 tahun, terpidana tidak menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki.

Jadi KUHP baru ini membuka kemungkinan bagi Terpidana Mati untuk luput dari hukuman asal saja permohonan grasi mereka diterima oleh Presiden atau dalam jangka 10 tahun mereka menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji. Seandainya, permohonan grasi diterima oleh Presiden atau dalam jangka waktu 10 tahun, Kepala Lapas menyatakan bahwa Terpidana yang bersangkutan telah menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji maka besar kemungkinan Terpidana mati akan lolos dari hukuman yang mengerikan itu karena setelah menerima pertimbangan dari Mahkamah Agung, Presiden dapat memutuskan hukuman seumur hidup baginya.

Akankah ketentuan KUHP baru ini diberlakukan bagi Fredy Sambo? Walaupun KUHP Nasional ini baru akan berlaku 3 tahun lagi (2026), tetapi mengingat panjangnya rentang waktu yang dapat dimanfaatkan oleh Sambo, mulai dari banding-kasasi-PK-grasi, dapat diperkirakan bahwa pidana mati yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tanggal 13 Februari 2023 itu tidak akan dapat dilaksanakan.

Sampai di sini Sambo telah diuntungkan dengan adanya asas lex favor reo (Pasal 3 KUHP baru) karena baginya akan diberlakukan peraturan baru karena peraturan itu lebih menguntungkan baginya.

Krisna Harahap Hakim Agung Ad Hoc Tipikor (2004-2021)

Simak juga 'Sambo Divonis Mati, Wapres: Itu Hak Pengadilan, Pemerintah Tak Intervensi':

[Gambas:Video 20detik]



(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT