Dalam upacara penutupan KTT ASEAN ke-40 dan ke-41 pada November 2022, Perdana Menteri Kamboja Hun Sen menyerahkan palu ke Presiden Joko Widodo. Langkah simbolis ini menandai berakhirnya keketuaan Kamboja di ASEAN dan dimulainya giliran Indonesia untuk memimpin organisasi terdepan di kawasan Asia Tenggara tersebut.
Keketuaan ASEAN berotasi setiap tahunnya antara kesepuluh negara anggota berdasarkan urutan alfabet. Kebetulan, Indonesia mendapat giliran persis setelah merampungkan presidensi Group of 20 (G20) pada 2022. Presidensi G20 Indonesia dapat dikatakan cukup sukses, dilihat dari keberhasilan menginisiasi dialog produktif mengenai beberapa isu global, antara lain transformasi digital, perubahan iklim, dan toleransi beragama.
Tetapi, momentum ini juga dihadang berbagai tantangan. Negara-negara Barat bersikeras ingin memanfaatkan G20—yang sebenarnya merupakan forum ekonomi—untuk mengangkat isu keamanan, menimbang situasi geopolitik dunia yang kritis pada saat itu.
Sayangnya, dapat terlihat adanya pola yang tidak mengenakkan: presidensi G20 dan keketuaan ASEAN Indonesia sama-sama berlangsung di tengah konflik bersenjata yang menyita perhatian. Kala itu, G20 menghadapi perang Rusia-Ukraina. Kini, ASEAN perlu menghadapi krisis domestik Myanmar. Parahnya lagi, anggota ASEAN memiliki kedudukan yang berbeda mengenai respons dan resolusi situasi ini, yang kemungkinan menghambat penetapan solusi konkret.
Wajar bila berbagai pihak menaruh harapan besar pada Indonesia selaku ketua ASEAN yang baru. Mungkinkah Indonesia mendorong kerja sama yang damai dan teratur di tengah kisruh regional?
Perkembangan Krisis
Keketuaan ASEAN Indonesia diselenggarakan di tengah intensifikasi krisis di Myanmar menjadi perang sipil. Ketika militer menggulingkan pemerintahan sipil Aung San Suu Kyi pada Februari 2021, hal ini "hanya" merupakan isu politik. Saat ini, krisis Myanmar telah bertransformasi menjadi masalah kompleks, tidak hanya meliputi aspek politik-keamanan, tetapi juga dimensi sosio-ekonomi kehidupan sehari-hari masyarakat.
Junta militer seringkali bentrok dengan oposisi sipil yang dikoordinasikan oleh National Unity Government (NUG). Pasukan junta menyalahgunakan kekuatan untuk menghancurkan desa-desa dan merenggut ratusan nyawa. Kehadiran kelompok bersenjata berbasis etnis turut memperumit situasi.
Berdasarkan laporan terkini Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB, lebih dari 1,4 juta orang di Myanmar terpaksa mengungsi. Harga komoditas seperti makanan dan bahan bakar meroket akibat inflasi, turut memperparah beban sosio-ekonomi warga biasa. Maka dari itu, masyarakat sipil internasional bergegas mengirimkan bantuan kemanusiaan.
Namun, operasi kemanusiaan seringkali terganggu oleh bentrokan antara pasukan junta dan kelompok oposisi sipil, juga oleh ancaman terhadap relawan kemanusiaan di lapangan. Kondisi hidup kian memburuk seiring berjalannya waktu.
Respons Internasional
Meskipun demikian, terdapat perkembangan yang positif terkait krisis ini. Dewan Keamanan PBB telah meloloskan Resolusi 2669 pada Desember 2022. Resolusi ini menuntut penghentian kekerasan dan pembebasan tahanan politik—termasuk Aung San Suu Kyi—oleh junta Myanmar. Ini merupakan resolusi DK PBB mengenai Myanmar pertama dalam 74 tahun sejak negara tersebut menjadi anggota PBB pada 1948.
Namun, Resolusi 2669 mendapatkan tiga suara abstain, yaitu dari Tiongkok, India, dan Rusia. Tiongkok dan Rusia cenderung suportif terhadap junta militer. Keduanya merupakan supplier senjata, kendaraan, dan pesawat tempur bagi Myanmar. Wakil Tetap Tiongkok di PBB berargumen bahwa solusi krisis Myanmar bergantung pada upaya oleh Myanmar sendiri.
Rusia meyakini situasi ini bukan merupakan ancaman signifikan terhadap keamanan internasional, sehingga tidak memerlukan resolusi DK PBB. Sementara itu, India menginginkan diplomasi yang "senyap, sabar, dan konstruktif" terhadap junta. Jika tidak, perdamaian dan stabilitas yang berkelanjutan tidak akan tercapai.
Dari kesepuluh negara ASEAN, tidak ada yang merupakan anggota tidak tetap DK PBB. Karena itu, ASEAN tidak secara resmi berkontribusi terhadap resolusi ini. Namun, Kyaw Moe Tun, wakil tetap pemerintahan sipil Myanmar di PBB, menyatakan bahwa tekanan dari ASEAN-lah yang membuat DK PBB akhirnya menyepakati resolusi ini. Buktinya, Rusia dan Tiongkok tidak menggunakan veto power mereka, tetapi sekadar abstain dalam voting.
Anggota DK PBB juga berkonsultasi dengan ASEAN selama proses drafting resolusi, sampai akhirnya memasukkan tuntutan bagi junta untuk mematuhi Five-Point Consensus (5PC) yang disepakati ASEAN. Lebih lanjut, Resolusi 2669 menghargai progres ASEAN sejauh ini, sembari mengajak dunia internasional mendukung mekanisme dan proses di bawah ASEAN.
Resolusi ini bersifat mengikat secara hukum karena berasal dari Dewan Keamanan. Segera setelah lolosnya resolusi diumumkan, Indonesia, Malaysia, dan Singapura mengeluarkan pernyataan menyambut baik resolusi untuk mendukung upaya ASEAN. Perlu diingat bahwa meskipun memungkinkan melalui PBB, dokumen semacam ini tidak akan mungkin berhasil lolos jika melalui mekanisme ASEAN.
Pengambilan keputusan di ASEAN berbasis konsensus dan dilandasi prinsip nonintervensi sejak organisasi tersebut didirikan. Keputusan apapun yang dibuat harus melalui persetujuan kolektif dari seluruh negara anggota. Keputusan tersebut juga harus menghindari intervensi dalam urusan domestik negara anggota, khususnya mengenai jalannya proses politik dalam negeri.
Walaupun demikian, kini ASEAN perlu mempercepat langkahnya. Makin berlarut krisis di Myanmar, makin mungkin menarik perhatian negara-negara besar dunia untuk masuk dan mengintervensi. Dari perspektif pihak ketiga, kredibilitas ASEAN juga akan dipertanyakan karena terlihat "lemah" dan tidak berkemampuan menyelesaikan masalah di wilayahnya sendiri.
Langkah ke Depan
Saat ini, ASEAN telah mempercayakan seorang Utusan Khusus untuk Myanmar yang bertanggung jawab mengobservasi dan memastikan implementasi 5PC oleh junta militer. Namun, hanya sedikit kemajuan yang telah dicapai. Utusan ASEAN masih tidak diperbolehkan bertemu dengan Aung San Suu Kyi dan kelompok oposisi sipil lainnya. Padahal, partisipasi mereka dalam proses perdamaian diamanatkan dalam 5PC.
Penghentian kekerasan dan keselamatan pengiriman bantuan kemanusiaan juga tampaknya tidak terakomodasi dengan baik di lapangan oleh junta militer. Krisis ini kemungkinan besar akan mencuri perhatian utama agenda politik-keamanan ASEAN pada 2023. Karena itu, ASEAN di bawah keketuaan Indonesia harus mengarahkan konsentrasinya untuk mencapai tujuan yang lebih realistis, yaitu menjaga stabilitas dan kohesi regional, dibandingkan berusaha menghidupkan kembali demokrasi di Myanmar.
Tentu saja hal ini penting dipertimbangkan sebagai cita-cita jangka panjang. Namun, menimbang situasi saat ini, sayangnya tujuan tersebut masih kurang memungkinkan tercapai. ASEAN juga perlu menunjukkan secara konkret bahwa suara masyarakat sipil Myanmar didengar. Berhubung merekalah yang paling terdampak oleh krisis ini, masyarakat menaruh harapan besar pada ASEAN untuk menyelesaikannya.
Jika ASEAN memutuskan untuk terus "bermain aman" dengan junta Myanmar, masyarakat bisa saja hilang kepercayaan. Mungkin saja mereka beralih mengambil langkah yang lebih ekstrem terhadap junta untuk memastikan keberlangsungan hidup mereka.
Sejauh ini, Indonesia telah cukup jelas menunjukkan ketidakpuasannya dengan junta, khususnya keengganan junta mematuhi 5PC ASEAN. Sebagai ketua, Indonesia ke depannya harus mampu menunjukkan niat kuat menyelesaikan krisis dan mempersatukan seluruh anggota ASEAN untuk mewujudkannya.