Jalan Sunyi Penentuan Nasib Sendiri bagi Israel-Palestina

ADVERTISEMENT

Kolom

Jalan Sunyi Penentuan Nasib Sendiri bagi Israel-Palestina

Mohammad Suud - detikNews
Jumat, 17 Feb 2023 11:00 WIB
Palestinians burn tires and wave the national flag during a protest against Israeli military raid in the West Bank city of Jenin, along the border fence with Israel, in east of Gaza City, Thursday, Jan. 26, 2023. During the raid in the West Bank town of Jenin, Israeli forces killed at least nine Palestinians, including a 60-year-old woman, and wounded several others, Palestinian health officials said, in one of the deadliest days of fighting in years. The Israeli military said it was conducting an operation to arrest militants when a gun battle erupted. (AP Photo/Fatima Shbair)
Foto: AP/Fatima Shbair
Jakarta -
Eskalasi konflik yang terjadi minggu ini di Israel dan Palestina memperlihatkan kegagalan dalam mengembangkan proses perdamaian langkah demi langkah berdasarkan kepercayaan, pemahaman, dan pengakuan bahwa semua orang memiliki hak yang sama untuk hidup, dan hidup secara merdeka dan aman. Mungkin masih relevan untuk memulai tulisan singkat ini dengan mengutip pemikiran seorang filosof Stoa, Seneca: homo sacra res homini.

Sudah banyak pemimpin negara dan komunitas internasional, dengan interesnya masing-masing, menyerukan agar konflik dan kekerasan yang menyelimuti Israel-Palestina selama bertahun-tahun tersebut dapatnya dihentikan. Tanpa terkecuali representasi dari negara kita dalam beberapa waktu berselang turut ambil bagian lagi dalam upaya yang serupa itu. Sebagai mana rilis di laman resmi PUIC (30/1/2023), di Konferensi Persatuan Parlemen Negara Anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) ke-17 di Aljazair, Ketua DPR RI Puan Maharani menyampaikan pidato terkait dengan soal isu Palestina dan partisipasi perempuan bagi negara-negara Islam.

Terlepas dari efektivitasnya, usaha-usaha resmi seperti itu (baca: governmental agents) mungkin tetap perlu dilakukan. Lebih lagi dalam konteks Indonesia, secara historis bangsa kita memiliki hubungan yang sangat monumental dengan Palestina, di mana jamak diketahui bahwa Palestina merupakan negara pertama di dunia yang mengakui kedaulatan Indonesia secara de facto.

Sementara dengan Israel, negara kita memiliki hubungan bilateral yang cukup baik meskipun tidak punya hubungan diplomatik resmi. Negara kita memiliki hubungan tidak resmi yang meliputi hubungan dagang, pariwisata, dan keamanan. Pada 2012, Indonesia sepakat menaikkan status hubungannya dengan Israel dan membuka konsulat kehormatan di Ramallah yang dipimpin seorang diplomat sederajat duta besar.

Diplomat tersebut juga bertugas secara tidak resmi sebagai perwakilan Indonesia saat membina hubungan dengan Israel. Tetapi, karena permasalahan politik di kedua belah pihak (Israel-Palestina) perjanjian ini tidak pernah terwujud dan sampai sekarang tidak ada perwakilan Indonesia di Israel atau Otoritas Palestina. Pertanyaannya kemudian, mengapa upaya-upaya dari komunitas internasional serupa itu acap gagal?

Bias Kepentingan

Dalam pembacaan saya, ada compounding factors yang bias kepentingan negara atau agen internasionalnya masing-masing yang wujudnya dapat berupa kepentingan ekonomi bahkan kepentingan agama. Selagi upaya-upaya yang dilakukan oleh representasi negara atau agen internasionalnya tersebut tidak mengutamakan hak hidup dari kedua warga negara tersebut (Israel-Palestina), jalan terjal tak ada habisnya sepanjang menuju perdamaian dan penentuan nasib sendiri bagi keduanya.

Oleh karenanya, perlu ada agen perubahan (agent of change) yang progresif bergerak dari dalam komunitas mereka sendiri. Agen tersebut mesti berdiri di atas hak semua orang dan masyarakat untuk hidup dengan penentuan nasib sendiri, keamanan, dan perdamaian. Agen tersebut mesti mendukung hak rakyat Palestina untuk membentuk negara mereka sendiri dan hidup bebas dalam demokrasi mereka sendiri.

Jika agen itu adalah kita, kita mesti menentang tindakan provokatif berkelanjutan dari negara Israel yang mengizinkan pemukiman di Tepi Barat dan penolakan untuk mengizinkan Gaza membangun akses mereka sendiri ke seluruh dunia yang memungkinkan perdagangan dan pembangunan.

Kita juga mesti mendukung warga Israel untuk dapat hidup damai dan bebas dari masalah keamanan. Karena pasti ada rasa sakit yang signifikan bagi semua keluarga yang terlibat dalam konflik tersebut, di mana orang yang dicintai telah terbunuh, terluka, dan trauma.

Kalau kita amati, konflik antar generasi yang menyelimuti kedua negara tersebut telah menghasilkan budaya kebenaran, hak dan korban yang tersebar luas bersama dengan sistem pertahanan dan perawatan diri. Budaya-budaya ini acap memperkuat persatuan di pihak masing-masing, tetapi gagal menciptakan kondisi untuk bergerak menuju perdamaian. Lalu, agen macam apa yang dapat mengemban tugas mulia tersebut?

Kesadaran Komunikasi

Dalam bayangan saya, agen tersebut mestilah non-governmental agent; suatu organisasi kemanusiaan non pemerintah yang bekerja secara profetik dalam pembangunan perdamaian dan penyelesaian konflik. Tetapi sejatinya dari mana pun datangnya anggota agen tersebut mesti memiliki kesadaran komunikasi deliberatif bahwa kepemimpinan diperlukan dari dalam pihak masing-masing untuk membangun budaya baru berdasarkan visi setiap orang yang hidup dengan perdamaian, keamanan, kebebasan yang setara, untuk generasi ini dan mendatang (Habermas, 1981).

Kepemimpinan seperti itu bisa datang dari berbagai tingkatan, termasuk politisi, kelompok masyarakat sipil, komunitas, dan tentu profesi-profesi relevan. Ada banyak contoh ketika masyarakat sipil mampu memajukan visi baru, berdampak positif pada proses politik dan mengarah pada perdamaian. Perkembangan seperti itu perlu datang dari dalam komunitas yang terlibat dalam konflik itu sendiri.

Memang momentum seperti ini tidak kemudian semuanya menjadi mudah. Tetapi setidaknya ada jalan sunyi; sunyi dari bias kepentingan pihak eksternal, dalam menuju perdamaian dan penentuan nasib sendiri bagi keduanya.

Sebagai catatan penutup perlu ditegaskan, siklus kekerasan, perampasan tanah, kontrol, provokasi, dan pembalasan yang berkelanjutan kemungkinan besar akan mengutuk generasi berikutnya untuk juga hidup dengan perang dan tragedi. Agen perubahan tersebut mesti menyediakan dirinya untuk berbagi pengalaman literatif dan memberikan dukungan kepada organisasi lokal yang bekerja untuk membangun proses perdamaian berdasarkan visi kesetaraan, kebebasan dan perdamaian.

Mohammad Suud dosen Kewarganegaraan di Universitas Wijaya Kusuma Surabaya

(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT