Merekam Kekerasan Seksual di Kampus

ADVERTISEMENT

Pustaka

Merekam Kekerasan Seksual di Kampus

Ahada Ramadhana - detikNews
Jumat, 17 Feb 2023 14:00 WIB
nama baik kampus
Jakarta -

Judul Buku: #NamaBaikKampus; Penulis: Sarjoko S; Penerbit: Gading Publishing, April 2022; Tebal: xxxii + 184 halaman

Mulanya #NamaBaikKampus merupakan proyek jurnalistik empat media. Pada Desember 2018, Tirto, VICE Indonesia, The Jakarta Post, BBC News Indonesia menggagas kolaborasi liputan kekerasan seksual di perguruan tinggi. Tujuannya, mendorong perlindungan pada sivitas kampus penyintas kejahatan seksual dan pengusutan kasus melalui prosedur tersistem. Kolaborasi mengakuisisi tagline 'nama baik kampus' yang selama ini dipakai kampus untuk menutupi kasus dan membungkam penyintas.

Sedangkan buku #NamaBaikKampus mengadaptasi tesis Magister Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM tentang proses kolaborasi tersebut. Tapi jangan kira buku terasa kaku. Berkat usaha keras merombak 90 persen tesis, terutama dari sisi bahasa, Sarjoko mengajak pembaca ikut petualangannya mengabadikan proyek #NamaBaikKampus. Dia menggali https://news.detik.com//kolom/d-6572502/merekam-kekerasan-seksual-di-kampus dari 8 jurnalis #NamaBaikKampus, rinciannya 2 BBC, 2 Jakarta Post, 3 Tirto, 1 VICE.

Buku ini dibuka dengan memantik ingatan atas kasus Agni UGM yang ramai pada 2018. Agni adalah nama samaran mahasiswi korban kejahatan seksual oleh rekan mahasiswanya saat KKN di Maluku pada 2017. Bak jatuh tertimpa tangga, sudah dilecehkan, Agni mendapati nilai KKN-nya C. Pejabat UGM menilai Agni turut bersalah karena berkontribusi pada peristiwa tersebut serta membuat keributan karena melibatkan pihak luar yakni lembaga pendampingan perempuan Rifka Annisa.

Agni boleh dikata menjadi ruh yang menghidupkan #NamaBaikKampus. Ia, meski tengah berjibaku mengatasi trauma, dengan gigih mengadvokasi dirinya sendiri menuntut tanggung jawab pada semua pihak yang terkait peristiwa tersebut.

Pemaparan perjalanan kolaborasi yang mengalir dengan runtut terasa menarik dan seru. Mulai dari landasan menginisiasi kolaborasi, terbentuknya kolaborasi beserta kesepahaman dan kesepakatannya, siapa saja yang terlibat beserta paparan dedikasi mereka di bidang jurnalistik, hingga kronologi mundurnya satu partner kolaborasi.

Kolaborasi menyebar formulir online selama 45 hari, menjaring testimoni penyintas kekerasan seksual di kampus. Dari 207 testimoni yang masuk, 174 terkait 79 perguruan tinggi di 29 kota. Beberapa kasus diinvestigasi, dan laporan yang terbit dibubuhi tagar "NamaBaikKampus".

Buku ini juga meringkaskan kasus Reynhard Sinaga, mahasiswa doktoral Leeds University yang didakwa 159 kejahatan seksual. Meski tak persis sama, secara halus kasus Reynhard dimaksudkan sebagai pembanding. Pelajaran penting kasus Reynhard yang bisa jadi cerminan di antaranya, kampus tak menutupi kasus bahkan mengakui bahwa pelaku termasuk sivitas, serta kampus hadir melayani pengaduan, selain juga menyampaikan duka pada korban.

Saya mencatat buku #NamaBaikKampus mengungkap tiga landasan pentingnya liputan kekerasan seksual di lingkungan para intelektual/terdidik tersebut, yang selama ini luput dipahami. Pertama, pemahaman para pihak berwenang sama sekali tak melihat sudut pandang korban. Kedua, aspek relasi-kuasa yang memaksa korban tunduk pada pelaku. Ketiga, budaya menyalahkan korban yang memicu korban enggan bicara/melapor.

"Penyintas enggan melapor ke mana pun, bahkan cerita pada orang terdekat. Ada beberapa alasan mengapa penyintas memilih bungkam, mulai dari malu, takut, tidak punya bukti, hingga dianggap terlalu berlebihan. Alasan lainnya, pelaku merupakan orang yang sangat dihormati dan sejak awal merasa upaya melaporkan ke kampus akan sia-sia karena kampus pasti akan berpihak kepada pelaku. Selain itu, banyak di antara penyintas yang tidak tahu harus melapor ke mana dan bagaimana memproses kekerasan seksual yang dialaminya." (hal. 15)

Soal payung hukum, kini ada Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang lebih menjamin penanganan atas laporan kekerasan seksual. Ada 9 jenis TPKS di UU ini: pelecehan seksual nonfisik, pelecehan fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, dan kekerasan seksual berbasis elektronik.

Wamenkumham Eddy Hiariej menyebut UU ini punya beberapa keunggulan. Salah satunya mengedepankan tiga sisi keadilan (korektif, restoratif, rehabilitatif), sehingga sangatlah memihak korban. Keadilan korektif untuk menghukum pelaku, keadilan restoratif sebagai upaya pemulihan korban, dan keadilan rehabilitatif bagi korban maupun pelaku. Keunggulan lain, selain dijatuhi pidana penjara dan/atau denda, pelaku juga wajib membayar restitusi (biaya pemulihan) untuk korban.

Saya pribadi mulai mendengar usulan peraturan pencegahan kekerasan seksual (dengan lingkup luas) pada 2016, saat draf RUU diserahkan ke DPR. Salah satu topik yang mencuat jadi bahasan hangat adalah catcalling. Saya ingat perbincangan dua rekan yang sepakat menolak bahwa catcalling termasuk pelecehan seksual, karena bagi mereka itu terlalu sepele untuk digolongkan kejahatan.

Sedangkan saya setuju catcalling adalah pelecehan. Alasannya, aturan itu akan mengayomi korban catcalling yang merasa keberatan. Sedangkan bagi yang tak keberatan dan baik-baik saja di-catcalling, jika pun ada, maka tak perlu melapor.

Bagi pembaca yang belum familier soal isu kekerasan seksual, penerbit menyajikan bahasan pengantar yang tepat. Kita diajak berangkat dari pijakan memihak korban. Hal itu tak lain agar kita sepakat jenis kejahatan ini tak main-main.

"Kekerasan seksual selama ini masih dipahami dengan sangat konvensional dan konsevatif. Ditambah lagi dasarnya adalah pemahaman patriarkis yang memandang bahwa kekerasan seksual sekadar kekerasan fisik oleh orang tak dikenal. Hal itu terjadi juga karena penyintas bersikap dan berkelakuan yang dianggap tak pantas. Benarkah demikian?" (hal. x)

Sedikit catatan saya, buku ini disusun usai terbitnya Permendikbud Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (PPKS), namun sebelum UU TPKS disahkan. Di bagian awal kita akan menemukan nuansa keresahan penulis akan pencegahan kekerasan seksual serta harapan segera disahkannya RUU TPKS. Maka, andai buku penting ini cetak ulang, penulis punya PR merevisi.

Ahada Ramadhana pekerja media daring

(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT