Bumi, Bencana, dan Refleksi Posisi Manusia

ADVERTISEMENT

Kolom

Bumi, Bencana, dan Refleksi Posisi Manusia

Andreas Maurenis - detikNews
Minggu, 19 Feb 2023 12:00 WIB
Ciri-ciri daerah rawan longsor perlu diketahui sebagai bentuk waspada terhadap bencana alam tersebut. Tanah longsor adalah perpindahan material pembentuk lereng yang bergerak ke bawah atau keluar lereng.
Ilustrasi: Fuad Hasim/detikcom
Jakarta -
Kalau bumi menjadi tidak ramah terhadap kehadiran manusia, itu karena manusia kehilangan rasa santun terhadap bumi dan penghuninya, ungkap Thomas Berry dalam karyanya The Dream of the Earth (1988). Ungkapan ini memiliki pesan yang amat kuat. Kehidupan modern telah menjauhkan perasaan dan kepekaan manusia tentang tempat asalnya (bumi). Manusia dengan tubuhnya, hidup dan ditopang bumi, tetapi perasaan dan kepekaannya perlahan lenyap bersama seluruh keinginannya.

Modernitas mengubah keinginan-keinginan tersebut menjadi tidak lebih dari sebuah wujud kasatmata hidup serakah. Pembangunan dan kemajuan menjadi dalih utama. Namun di dalamnya cenderung dijejali dengan berbagai ilusi yang mengakar pada rasionalitas kapitalis. Maka ketika hari-hari ini kehidupan manusia dipenuhi dengan berbagai krisis dan ancaman ekologis, hendaknya manusia mulai melihat kembali kisah lama ketika bumi tercipta, dan kisah baru ketika keberadaan manusia di dalamnya yang tidak lagi tepat.

Bencana alam yang tanpa henti "menyapa" umat manusia harus menjadi horizon yang mampu membuka cakrawala refleksi mengenai posisi manusia di tengah semesta kehidupan. Berbagai krisis kehidupan terutama bencana alam, pertama-tama harus menjadi sarana mempersoalkan "cara berada" manusia di tengah semesta kehidupan dan bukan cara "memerangi" bencana melalui logika infrastruktur.

Yang harus dilakukan seseorang ketika terantuk bukan membuang kerikil penyebab seorang terantuk atau memperbaiki jalan yang dilewati, melainkan (pertama dan utama) menegur diri sendiri atas sikap kurang hati-hati saat melangkah. Ini cara sederhana tapi tampaknya menjadi tantangan dan persoalan serius manusia. Dan modernitas seolah menambah rumitnya hal semacam ini.

Reposisi Sikap dan Cara Pandang
Bencana alam (gempa bumi) yang menimpa Turki dan sekitarnya memunculkan duka dan nestapa untuk kita semua. Gempa Turki memanggil kepedulian dalam berbagai bentuk dari berbagai belahan dunia. Dukungan materiil dan moril bermunculan. Namun di sini kita juga belajar sesuatu. Manusia harus memikirkan secara serius posisi sikap dan pandangan individu terhadap bumi. Patut ditegaskan bahwa rasionalitas modern sedang mendominasi hidup dan cara kerja manusia.

Kekuatan dominatif modernitas lalu menyingkirkan sesuatu yang hakiki dalam diri manusia. Manusia semakin merasa bahwa pengertian terdalam tentang eksistensinya adalah ia makhluk teknologis. Cara pandang ini kemudian menjadi cara pandang dominan dan model cara pandang dunia modern. Cara pandang ini kemudian menggerus prinsip asali keberadaannya yaitu di tempat pertama manusia adalah makhluk alam.

Pemahaman yang keliru tentang hakikat manusia kemudian melahirkan berbagai bentuk dominasi dan monopoli terhadap bumi. Manusia seolah dilempar oleh dirinya sendiri ke dalam suatu zaman penghancuran dahsyat di muka bumi. Untuk itu, cara pandang manusia sebagai makhluk alam ini perlu dikembalikan. Cara pandang ini menjadi penting, yang tidak bisa ditunda terutama disandingkan dengan beragam krisis kemanusiaan lokal maupun global dewasa ini. Jika saat ini manusia telah jauh menyimpang bahkan meninggalkan cara pandang ini, dan menganut cara pandang modern (mekanistis, reduksionis), saatnya reposisi sikap dan cara pandang digemakan.

Reposisi sikap dan cara pandang di sini adalah kembali ke pemahaman asali bahwa manusia adalah makhluk alam. Ini akan membantu umat manusia memperbaiki cara beradanya, yang hari-hari ini sudah tidak tepat di tengah alam kehidupan. Sebab manusia menjalankan cara hidupnya dengan melepaskan diri dari realitas sebagai jejaring. Manusia bukan hanya membuat distingsi tetapi membuat distansi. Bahkan dengan sikap dominatifnya manusia membuat divisi dengan dunia di luar dirinya.

Manusia modern memisahkan dirinya dari kehidupan alam. Dari sini lahirlah egoisme, keserakahan, dan penaklukan. Manusia kehilangan sensibilitas atas kehidupan sebagai satu jaringan, melihat dunia lebih mekanistik, dualistik, antroposentrik sebagaimana diungkapkan oleh Cho Hyun­ Chul melalui bukunya An Ecological Vision of the World (2004). Manusia kehilangan kepekaan sebagai hanya bagian kecil dari seluruh jejaring besar kehidupan.

Dengan mengembalikan sikap dan pandangan yang tepat tentang bumi dan seluruh kehidupan akan membantu umat manusia melihat seluruh kehidupan secara holistis, sistemis, dan ekologis. Dengan cara pandang ini manusia akan sanggup memaknai realitas sebagai suatu keterkaitan dan interdependensi hakiki di antara seluruh fenomena dan kehidupan di dalamnya, baik fisik, biologis, psikologis, sosial dan kultural. Dengan kata lain, merusak satu bagian kecil dari sebuah jejaring berarti telah mengacaukan seluruh sistem dan keteraturan yang telah terbentuk.

Sikap dan pandangan yang tepat terhadap bumi akan membuka kesadaran bahwa telah terjadi intervensi berlebihan karena cara hidup modern di mana model ekonomi, sains, dan teknologi yang dipilih telah berakar pada pandangan dunia antroposentris, mekanistis, militeristis (Vandana Shiva, 2020). Antroposentris menegaskan manusia menempati posisi sentral (pusat) dari kehidupan.

Mekanistis melihat bumi seumpama mesin raksasa yang bisa dimanipulasi. Sementara militeristis mengharuskan kekuatan militer dikerahkan demi "mengamankan" dan "mengukuhkan" kekuasaan mutlak atas alam dan peradaban. Melalui kesadaran ini, bencana alam tidak akan semata-mata dianggap bencana yang terjadi secara alami tetapi dibaca setidaknya minimum ada yang salah dengan ikhtiar manusia modern.

Selain itu, reposisi sikap dan pandangan ke arah yang tepat tentang alam dapat membantu manusia menghindari sikap simplisitik-teologis yang seringkali menjadi sarana pengingkaran dan pelarian dari kepercayaan dan tanggung jawab yang diberikan untuk mengusahakan dan memelihara bumi beserta isinya. Dengan begitu, bencana alam akan pertama-tama dilihat bukan sebagai murka atau hukuman Pencipta tetapi sebagai momen introspeksi diri.

Tanggung Jawab Manusia
Bencana alam dapat dikembalikan kepada tanggung jawab manusia, bukan momentum memperkarakan sifat-sifat Sang Pencipta. Dengan akal/pengetahuan dan kebebasan/kehendak bebas yang sudah mengiringi manusia sejak mengenal kehidupan, manusia perlu menyadari bahwa bumi merupakan tempat kelahiran manusia, tempat manusia diberi makan, dibimbing, dan disembuhkan. Bumi telah menyokong manusia. Itu artinya manusia adalah makhluk yang tidak akan bisa hidup dan berkembang menjadi manusia seutuhnya tanpa alam.

Manusia tidak bisa menjadi manusia tanpa lingkungan hidup/alam semesta/bumi. Manusia tidak bisa hidup tanpa alam semesta, tanpa air, tanpa udara, tanpa hutan, tanpa laut, tanpa tanah dan seluruh biota, fauna dan flora di dalam alam ini, kata Sony Keraf dalam Filsafat Lingkungan Hidup (2014). Eksistensi dan makna hidup manusia tidak bisa lepas dari alam dengan segala isinya, baik pada level biologis yang paling mendasar sampai pada level ekonomis dan kultural.

Maka dalam proses lahir dan bertumbuh, akal dan kebebasan itu harus difungsikan secara benar, selaras prinsip-prinsip dan sistem kehidupan. Diselaraskan secara harmonis dengan alam dalam sebuah pola relasi dan laku kehidupan yang saling merawat, saling memelihara, saling menghargai, dan saling peduli. Dalam pemahaman ini, memelihara dan melindungi bumi dihayati juga sebagai memelihara dan melindungi diri sendiri, kehidupan manusia.

Thomas Berry melalui The Great Works (1999) mengajak umat manusia untuk beralih dari sebuah zaman perusakan bumi ke sebuah zaman di mana manusia hadir di tengah planet bumi dengan lebih bersahabat dan saling menguntungkan. Kehadiran yang bersahabat dan saling menguntungkan hanya dapat dimungkinkan oleh kesanggupan menemukan kepekaan baru. Dalam hal ini, menyadari bumi sebagai sebuah organisme yang hidup.

Bumi bukan benda mati yang kemudian dianggap hanya sebuah objek yang bisa dimanipulasi, dibongkar-pasang, dan ditaklukkan. Dengan demikian sikap santun terhadap bumi beserta isinya (termasuk manusia) akan dirawat. Pada akhirnya, untuk mengasah dan meningkatkan kepekaan baru ini, pembekalan pembelajaran ekologis harus dirasa urgen untuk diberikan kepada masyarakat. Dunia pendidikan, dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi perlu segera mempertimbangkan hal ini.

Bagaimana pun jiwa (roh) dari pendidikan adalah pendidikan hati. Sementara urusan "hati" ini terasa kehilangan tempat dalam dunia pendidikan dan sistem kerja dalam dunia urban modern yang lebih menekankan keterampilan teknis dan penalaran rasional. Mengasah hati akan mempertajam kepekaan, memperkaya spektrum rasa, dan menyuburkan solidaritas, yang bukan hanya kepada sesama manusia tetapi juga kepada seluruh kehidupan termasuk terhadap rumah bersama kita, Bumi.

Andreas Maurenis lulusan S2 Filsafat Fakultas Unpar Bandung
Simak Video 'Korban Jiwa Gempa Turki-Suriah Bertambah, Kini Lebih dari 46 Ribu':

(mmu/mmu)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT