Tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) tinggal dalam hitungan bulan, persiapan partai politik untuk mempersiapkan kader-kader terbaik dalam rivalitas kontestasi mulai digeber. Kader-kader yang akan berkompetisi dalam Pemilu Legislatif di pusat dan daerah disiapkan sesuai potensi pemenangan dalam usulan Daftar Caleg Sementara (DCS). Sedangkan dalam persiapan menghadapi Pemilu Presiden, semua partai sibuk berkalkulasi dan merintis koalisi partai untuk mengusung capres yang memiliki peluang menang dengan pertimbangan elektabilitas yang memadai.
Dari partai politik yang berada dalam poros pendukung pemerintah dan memiliki fraksi di parlemen, baru Partai Nasdem yang mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai capres yang diusung. Sedangkan partai politik yang di luar pemerintah yakni PKS dan Demokrat, arah haluan politik akan pula mendukung pencalonan mantan Gubernur DKI Tersebut. Tentu saja Partai Demokrat memiliki embel-embel harga dukungan yakni menjadikan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai cawapres. Sedangkan partai politik yang sejak 2009 konsisten mendukung capres/cawapres dari tokoh internal partai, Gerindra mencoba menggandeng Muhaimin Iskandar sebagai mitra koalisi.
Yang belum menentukan pilihan capres adalah PDIP yang masih "bimbang" dalam mengusung putri mahkota Puan Maharani sebagai capres karena elektabilitasnya tidak juga terdongkrak dan belum juga meraih simpati elektoral dari masyarakat. Sedangkan poros Golkar-PAN-PPP masih menunggu perkembangan politik koalisi.
Belum Bisa Dipastikan
Banyak analis politik yang menyebutkan capres yang akan memiliki tiket menjadi petarung dalam kontestasi pilpres tidak akan terlepas dari nama Prabowo Subianto, Anies Baswedan, dan Ganjar Pranowo yang mereka memiliki tingkat elektabilitas di atas 11,5%. Namun arah koalisi politik belum bisa dipastikan, karena faktor Presiden Joko Widodo sebagai "king maker" koalisi masih dimungkinkan.
Berbeda dengan beberapa analisis lembaga survei yang mengkonklusikan capres yang potensial menang dalam Pemilu Presiden adalah tokoh antitesis Joko Widodo, hal tersebut jelas opini yang sumir. Karena baik Prabowo, Ganjar, dan Anies setipe dengan Joko Widodo. Yakni, getol dalam pencitraan dan sedang atau pernah menduduki jabatan di birokrasi pemerintahan. Anies Baswedan bukan antitesis Joko Widodo karena model pencitraan sekarakter. Yang membedakan Anies ketika menjadi Gubernur DKI enggan melanjutkan program program pembangunan Joko Widodo ketika menjadi Gubernur DKI 2012-2013.
Tokoh politik yang diusung menjadi capres dalam Pemilu Presiden di luar tiga besar popularitas dan elektabilitas juga pada umumnya tidak memiliki rekam jejak yang fenomenal dan sukses dalam menjalankan program di birokrasi pemerintahan dan/atau sukses merepresentasikan perjuangan kepentingan publik ketika di luar pemerintahan. Jadi boleh dikatakan capres yang akan berkontestasi dalam Pilpres 2024 minus legasi --tidak memiliki deretan prestasi yang cemerlang selama menjadi pejabat publik.
Populer pasti, berprestasi belum tentu. Bagi komunitas pendukung para capres , legasi atau warisan karya inovasi kebijakan dan perubahan tidak begitu penting --yang utama capresnya potensi untuk menang dalam pilpres. Indikator terobosan kebijakan, visi perubahan sosial, dan keberpihakan pada masyarakat hanyalah kemasan kampanye yang didesain oleh lembaga konsultan politik yang pasti akan disewa untuk tugas "profilisasi" para capres.
Coba ditelaah secara mendalam berbasis riset dan data, apa yang telah dihasilkan seorang capres seperti Ganjar, Prabowo, dan Anies ketika memimpin lembaga pemerintahan? Kebijakan yang menguntungkan bagi akomodasi hak sipil politik dan ecosoc rights masyarakat? Program yang memuliakan masyarakat marjinal? Penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia sebatas kewenangan yang dimiliki? Pembangunan daerah yang pro konservasi? Tidak ada yang fenomenal dan layak disebut warisan politik.
Mengisi Ruang Kontestasi
Dalam sirkuit regenerasi kepemimpinan nasional, setiap calon pemimpin dan/atau pemimpin yang duduk di singgasana kekuasaan pasti ada legasi sosial dan politik. Hal tersebut penting untuk menakar rekam jejak calon pemimpin negara dalam aspek kapabilitas, integritas, dan moralitas. Kepemimpinan yang bagus adalah yang memiliki pengalaman aktual dalam membawa kebijakan ekonomi-politik-sosial yang berpihak pada publik bukan elite sosial-ekonomi.
Namun yang jelas, meskipun tanpa legasi para calon presiden yang belum "jelas" akan diusung koalisi parpol dibutuhkan untuk mengisi ruang kontestasi. Mereka adalah capres terbaik proses politik demokrasi post reformasi. Mereka elite sosial yang tampil ke permukaan karena memiliki tingkat popularitas, dan disukai/diharapkan oleh masyarakat pemilih. Harapan masyarakat para capres nantinya tidak banyak mengumbar janji dalam periode kampanye, namun penajaman program-program yang sejalan dengan kehendak masyarakat. Serta lebih jauh berkomitmen tidak mencemari proses elektoral dengan praktik kampanye hitam dan propaganda berbasis politik identitas.
Bersaing dalam irama perdebatan intelektual atas program yang dirancang bangun dan berkompetisi dalam menarik simpati. Jangan sampai pengalaman 2014 dan 2019 masyarakat terpolarisasi dalam dukung mendukung capres dengan disertai sentimen sosial dan berbagai anasir ujaran kebencian. Pemilu presiden yang damai dan berkualitas akan membantu terciptanya stabilitas politik pasca pilpres.
Demikian koalisi partai politik diharapkan tegas berikrar pada pemilu yang jujur dan adil serta bebas hoaks, nir politisasi agama. Lebih pada membangun koalisi atas dasar program yang setara tanpa mengurangi misi transaksi politik yang merupakan kewajaran. Koalisi partai politik bukan hanya bertujuan meraih legitimasi dari penyelenggara pemilu agar bisa meloloskan capres yang diusung dan didukung. Namun legitimasi moral untuk menjadi koalisi partai yang memimpin pemerintahan dengan program yang bagus.
Koalisi parpol sendiri memang dibutuhkan mengingat UU Pemilu menggarisbawahi ketentuan presidential threshold dalam politik elektoral pencapresan. Hal tersebut tinggal partai partai politik memainkan seni komunikasi dan manajemen lobi politik yang berasas kebersamaan. Koalisi partai tidak harus mengusung identitas "status quo" versus "perubahan" karena sama-sama memiliki hasrat politik berebut kursi kabinet dan menghendaki capresnya menang dalam Pemilu Presiden secara konstitusional.
Patut ditunggu deklarasi capres dan juga ikrar koalisi parpol dalam tahapan Pemilu 2024. Masyarakat menginginkan situasi yang damai dan kondusif, karena sudah lelah dengan polarisasi yang dipicu oleh materi propaganda politik identitas dan ujaran kebencian. Sekali lagi kesadaran bersama para elite politik untuk memberikan "kegembiraan" bagi masyarakat dalam pemilih dibutuhkan dibanding ego subjektif menang dalam kontestasi.
Trisno Yulianto Koordinator Forum Kajian Politik Demokrasi
Kolom
Capres Minus Legasi, Koalisi Butuh Legitimasi
Senin, 20 Feb 2023 14:00 WIB

Jakarta -