Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah menjatuhkan vonis terhadap para terdakwa dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J. Majelis Hakim menjatuhkan vonis hukuman kepada Ferdi Sambo (FS) dengan pidana mati. Istrinya Putri Chandrawati (PC) 20 tahun penjara. Kuat Maaruf (KM) 15 tahun penjara dan Ricky Rizal (RR) 13 tahun penjara. Sedangkan Bharada Eliezer (Bharada E) divonis 1.5 tahun penjara. Sontak kejomplangan vonis hukuman di antara para terdakwa dalam kasus yang sama menjadi perdebatan publik, khususnya para akademisi dan praktisi hukum.
Elwi Danil, Pakar hukum pidana Universitas Andalas, mengungkapkan bahwa vonis hakim itu ada kalanya sulit dipahami oleh mereka yang belajar dan memahami hukum pidana. Tapi vonis yang seperti itulah yang cenderung disukai oleh mereka yang tidak memahami hukum. Terlepas dari pro-kontra yang ada, putusan hakim tersebut harus tetap dihormati sebagaimana asas res judicata pro veritate habetur.
Kontroversi Pidana Mati
Pidana mati merupakan salah satu opsi hukuman yang dapat dikenakan kepada para terdakwa dalam tindak pidana pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP). Meskipun penerapannya dalam penyelesaian kasus pidana sering kali dipersoalkan, terutama dari sisi hak asasi manusia (HAM).
Pasca FS divonis pidana mati, Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menjelaskan hak hidup termasuk ke dalam hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Lebih spesifik, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia (AII) Usman Hamid menilai hukuman mati yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap FS sudah ketinggalan zaman dan ditinggalkan banyak negara. Ia juga menegaskan bahwa hakim bisa lebih adil tanpa harus menjatuhkan hukuman mati kepada FS.
Sedangkan berdasarkan Putusan No.2/PUU-V/2007 dan Putusan No.3/PUU-V/2007, Mahkamah Konstitusi menyatakan pidana mati tidak bertentangan dengan hak hidup yang dijamin UUD NRI 1945. Sebab, konstitusi Indonesia tidak menganut azas kemutlakan HAM. Dengan demikian pelaksanaan pidana mati adalah konstitusional.
Sementara dalam praktik peradilan pidana, pandangan Mahkamah Agung (MA) terhadap pidana mati juga tidak konsisten. Misalnya dalam (i) Putusan MA No.38 PK/Pid.Sus/2011 (ii) Putusan MA No.144 PK/Pid.Sus/2011, dan (iii) Putusan MA No.25 PK/Pid/2012, serta (iv) Putusan MA No.1069 K/Pid/2012, Mahkamah Agung menyatakan jika hukuman mati ialah konstitusional dan tetap berlaku bagi kejahatan serius.
Di sisi lain Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa pidana mati bertentangan dengan konstitusi dan hak asasi manusia seperti dalam Putusan MA No.39 PK/Pid.sus/2011 dan Putusan MA No.45 PK/Pid.sus/2009. Inkonsistensi sikap Mahkamah Agung terhadap pidana mati ini sangatlah mengganggu dan menciptakan ketidakpastian hukum di tengah pertaruhan hidup dan mati seorang terdakwa di tangan seorang hakim (baca: putusan hakim).
Padahal keberadaan pidana mati tidaklah relevan lagi dengan tujuan pemidanaan yang lebih mendepankan keadilan restoratif dan rehabilitatif ketimbang pembalasan (retributif). Dari segi doktrin hukum pidana, penerapan hukuman mati, hanya akan menjadikan hukum pidana semakin kejam dan keji (ein immer grausammer geprage).
Lagi pula tidak ada jaminan bahwa pidana mati akan menghilangkan atau setidaknya mengurangi orang melakukan kejahatan tertentu. Contohnya pada kasus narkotika, sudah banyak terdakwa pada kasus tersebut yang dihukum mati. Namun penyalahgunaan narkotika tetap saja eksis dan tumbuh subur. Fungsi keadilan restoratif dan rehabilitatif itu lebih ditujukan kepada bagaimana hukum pidana itu memanusiakan terpidana, daripada sekedar hukum hadir untuk manusia.
Standar Ganda Keadilan
Putusan 1.5 tahun penjara terhadap Bharada E yang lebih rendah daripada terdakwa lainnya dalam kasus yang sama disambut dengan euforia publik. Bahkan beberapa ahli hukum mengatakan putusan tersebut telah sesuai dengan keadilan masyarakat.
Padahal makna keadilan masyarakat itu terlalu luas, siapa saja bisa mengklaim dan menafsirkan keadilan masyarakat. Keadilan bukan berarti tunduk pada opini publik dan sentimen moral yang dominan di tengah ketidakpastian apakah ada ''masyarakat'' sebagai suatu kesatuan yang homogen --yang mempunyai pendapat dan sentimen moral yang jelas.
Kedua, hukum dalam pandangan masyarakat diartikan sebagai aparat penegak hukum. Artinya masyarakat umum memanifestasikan hukum seperti apa yang dilihatnya, seperti bagaimana hakim mengadili perkara dalam suatu persidangan. Padahal aturan main hukum itu tidak hanya soal bagaimana aparat penegak hukum itu bekerja.
Ketiga, sistem hukum dan peradilan Indonesia tidak menganut sistem juri yang dapat mengkonkretisasikan makna keadilan masyarakat dengan melibatkan peran masyarakat biasa dalam suatu proses persidangan disamping polisi, jaksa, advokat, dan hakim.
Bagaimanapun keadilan itu bersifat subjektif dan memihak. Belum tentu adil menurut masyarakat luas itu adil bagi mereka yang berperkara di Pengadilan. Oleh karena itu, Sajipto Rahardjo mengatakan: kita hidup di zaman hukum modern, yang mana hukum itu bersifat netral, tetapi kenetralan hukum itu tidak bisa menjamin bahwa orang yang kalah di Pengadilan belum tentu salah dan orang yang menang di di pengadilan belum tentu benar.
Disparitas Putusan
Putusan Bharada E yang berbeda jauh dengan vonis para terdakwa lainnya dalam kasus yang sama telah menimbulkan permasalahan hukum tersendiri berupa disparitas putusan. Sedangkan dalam konteks delik penyertaan (Pasal 55 KUHP), berdasarkan Yurisprudensi Putusan MA No.163 PK/Pid.Sus/2019, tidak boleh ada disparitas putusan yang menganga antara para terdakwa dalam perkara yang sama.
Dalam konteks ini, kaidah hukum yang ada pada Putusan Bharada E tersebut cenderung diskriminatif dengan kaidah hukum Putusan Para Terdakwa lainnya, sehingga tidak dapat dikatakan memberikan perlindungan hukum secara in concreto. Summum ius, summa iniuria yang berarti keadilan tertinggi adalah Ketidakadilan tertinggi.
Selain itu, dalam putusan Bharada E, hakim menyatakan Bharda E terbukti bersalah melakukan pembunuhan berencana dan tidak ada alasan peniadaan pidana. Tetapi dengan alasan justice collaborator menjadi pertimbangan hakim untuk meringankan dan memberikan vonis yang lebih rendah dan jauh di bawah tuntutan jaksa penuntut umum serta sangat jomplang dengan vonis para terdakwa lainnya.
Bandingkan saja dengan RR yang menolak perintah menembak tetapi hukumannya lebih tinggi ketimbang Bharada E yang menerima perintah menembak (eksekutor) dan pelaku materiil. Die tat totet den man yang berarti tindakanlah yang menyebabkan manusia terbunuh.
Meskipun kontribusi Bharada E dalam mengungkap perkara ini patut diapresiasi, namun penyematan peran justice collaborator kepada Bharada E adalah sesuatu hal yang keliru. Hal ini karena dalam UU No.13/2006 jo. UU 31/2014 dan Surat Edaran Mahkamah Agung No.04/2011, pemberian status justice collaborator hanya diberikan kepada saksi pelaku, bukan pelaku utama. Sedangkan Bharada E adalah pelaku materiil.
Dalam ketentuan a quo, tindak pidana pembunuhan berencana bukan termasuk tindak pidana yang wajib diberikan perlindungan kecuali untuk korupsi, narkoba, terorisme atau tindak pidana terorganisir lainnya seperti tindak pidana perdagangan orang.
Dengan pertimbangan hakim yang mengakomodasi status justice collaborator untuk Bharada E yang merupakan pelaku materiil dan tindak pidananya bukan objek pemberian justice collaborator, maka pertimbangan tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip penafsiran dalam hukum pidana yang bersifat ketat dan terbatas serta dipagari oleh asas legalitas: lex stricta (tertulis), lex stricta (tegas) dan lex certa (jelas). Adanya disparitas putusan ini dapat dijadikan alasan untuk peninjauan kembali oleh para terdakwa lainnya dalam kasus ini, di samping alasan kekhilafan hakim dan kekeliruan yang nyata dan novum.
Agung Hermansyah dan Gilang Ramadan Asar advokat, konsultan dan peneliti hukum di Jakarta
Simak Video 'Polri Pertimbangkan Aspek Meringankan Dalam Sidang Etik Eliezer':
(mmu/mmu)