Hari-hari ini dan ke depan kita akan menghadapi ancaman melejitnya tarif dasar listrik akibat krisis pengelolaan sumber daya listrik. Padahal, Indonesia memiliki kurang lebih 40% cadangan geothermal terbesar di dunia dengan potensi 25,4 Giga Watt atau setara dengan 25,4 Miliar Watt yang bersih, ramah lingkungan, dan terbarukan. Sayangnya, fasilitas alam tersebut tidak dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, melainkan hanya dinikmati oleh segelintir orang per orang.
Selama ini, Pertamina melalui afiliasi PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) memegang kuasa atas Wilayah Kerja Penambangan (WKP) Panas Bumi terbesar di Indonesia, dengan total 13 wilayah kerja. Dengan total Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTB) berkapasitas 2.292 Mega Watt, 80% lebih milik WKP PGE. Sepuluh tahun terakhir, PGE berkinerja baik, beberapa penghargaan diraih, serta berhasil meraih index utility dan renewable power production tertinggi dari 679 perusahaan dunia lainnya.
Di tengah melunturnya semangat kebangsaan, muncul pertanyaan mendasar, seriuskah Pertamina melakukan penjualan saham PGE? Privatisasi sejatinya bukan hanya sekadar Initial Public Offering (IPO) saja, pertimbangan kegentingan serta objek saham yang akan dijual telah sesuai ketentuan. Malproses hanya akan merugikan masyarakat serta hanya menguntungkan sekelompok orang tertentu, singkatnya sasaran capaian Pasal 33 UUD 1945 kian jauh api dari panggang.
Jawabannya, kita perlu melihat ketentuan privatisasi perusahaan negara. Sedikitnya 2 PP, (1) PP 33/2005, larangan privatisasi terhadap perusahaan negara yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam, dan (2) "Kondisi Tertentu", situasi mendesak hanya dengan menjual perusahaan demi penyelamatan APBN, untuk pembangunan restrukturisasi (PP 59/2009). Alih-alih, geothermal termasuk dalam norma haram "dijual ke swasta", namun, praktiknya tetap dilakukan.
Praktiknya, PGE tetap melepas 25% saham senilai kisaran Rp 9,7 triliun di tengah kondisi kondusif serta berbagai raihan prestasi. Holding Pertamina menguasai 65% sektor hulu migas, efisiensi, hingga akhir 2022 perusahaan tersebut mampu meraup keuntungan sebesar Rp 57 triliun, meski lainnya tiarap akibat dampak pandemi. Sehingga, tidak beralasan jika perusahaan pelat merah terbesar tersebut seolah "wajib" menjual sahamnya kepada swasta.
***
Banyak orang menyebut geothermal merupakan energi untuk membangkitkan listrik. Tentu benar, karena 29 negara telah memanfaatkan energi panas bumi sebagai pembangkit listrik, bahkan 5 negara sedang mengembangkan panas bumi sebagai sumber daya terbarukan, sekaligus menekan emisi karbon ke udara. Layanan energi harus mampu diakses secara universal dan bertransisi terus-menerus menuju rendah karbon, sebagaimana Kesepakatan Iklim Paris menyaratkan pengurangan emisi rumah kaca 29% hingga 2030.
Indonesia turut meratifikasi kesepakatan tersebut, bahkan seluruh penyepakat berkomitmen menggunakan energi terbarukan 23% dari total konsumsi nasional pada 2025. Peran strategis ini adalah peran negara yang tidak mungkin diprivatisasi ke pihak swasta dengan alasan apapun. Pelayanan publik dan sumber daya energi sepantasnya tetap dikendalikan negara melalui Badan Usaha Milik Negara serta diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan Undang-undang.
Satu contoh "pemindahan atas kepemilikan saham kepada investor asing" di Indonesia dialami oleh PT Semen Indonesia. Perusahaan tersebut, pada awalnya bernama PT Semen Gresik (Persero) Tbk, dan menjadi pabrik semen terbesar di Indonesia. Namun, akibat adanya privatisasi pada tanggal 20 Desember 2012, perusahaan tersebut harus kehilangan saham terbesar dimiliki perusahaan semen asal Meksiko, Cemex.
***
Ongkos politik mahal di negeri ini mendorong orang menghalalkan segala cara agar dapat uang meski harus mengorbankan harga diri. Berdasarkan pengalaman pemilu dan pilpres lalu, para penyandang dana kampanye mulai mempersiapkan kandidat-kandidatnya. Para penyandang dana yang mendanai kandidat tidak ingin diganggu kepentingannya ketika kandidat menjadi pejabat publik.
Ironinya, sebagian besar penyandang dana merupakan pengusaha di industri panas bumi, seperti geothermal dan turunannya. Kepentingannya pasti, agar mereka tetap mendapat privilese meskipun harus meninggalkan kepentingan umum. Setahun menjelang perhelatan politik, dorongan arus dan angin politik bias dalam menyikapi privatisasi, atau justru menegasi dukungan penjualan saham sumber daya nasional ke publik.
Hingga artikel ini ditulis, saya belum mendengar sikap politik para kontestan terhadap persoalan privatisasi di negeri ini. Sembari membangun optimisme nasionalitas yang mulai tergerus, kita kawal sumber daya yang dianugerahkan alam tetap berada di tangan orang-orang yang benar.
Mari, kita dorong para pengemban amanah rakyat agar sepenuh hati menjaga sumber daya alam dari petualang-petualang musiman! Kita sadar bahwa politik mahal biayanya, namun kehilangan hak kelola sumber daya alam jauh lebih mahal konsekuensinya. Hanya ini sekelumit pesan sebagai masyarakat, sembari terpanjat permohonan doa agar para pemimpin, calon pemimpin, serta pengusaha bersatu padu memakmurkan seluruh rakyat.
Wahyu Agung Prihartanto penulis dari Sidoarjo
Simak juga 'Komisi VII Setuju Tarif Listrik Naik: Beban Subsidi Energi Sudah Tinggi':
(mmu/mmu)