Gonjang-Ganjing Perberasan

ADVERTISEMENT

Kolom

Gonjang-Ganjing Perberasan

Angga Hermanda - detikNews
Rabu, 22 Feb 2023 16:10 WIB
Sejumlah pekerja mengangkut beras impor Vietnam yang tiba di Gudang Bulog Subdivre Serang, di Serang, Banten, Senin (20/2/2023). Dirut Perum Bulog Budi Waseso menyatakan untuk memenuhi stok cadangan beras pemerintah (CBP) yang sudah menipis, pihaknya mengimpor 500 ribu ton beras dan 200 ribu ton diantaranya sudah tiba di Indonesia. ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/rwa.
Tumpukan beras impor Vietnam di gudang Bulog (Foto: Asep Fathulrahman/Antara)
Jakarta -

Kekayaan alam yang melimpah membuat Indonesia memiliki bahan pangan yang beragam. Segala jenis biji-bijian dan umbi-umbian tersedia di negeri yang dilintasi garis khatulistiwa ini. Tak kalah dengan itu, sumber protein nabati dan hewani nan tinggi semestinya juga mudah didapatkan di setiap gunung, daratan, dan lautan. Tetapi apa yang kita miliki tak lantas menjadikan konsumsi rakyat memenuhi syarat beragam, bergizi, seimbang, dan aman (B2SA).

Kondisi itu terjadi karena kebijakan ekonomi-politik yang merubah pola konsumsi rakyat, dari yang bermacam-macam ke jenis bahan pangan yang terbatas. Praktis secara dominan saat ini menu di meja makan kita hanya terdapat dua pilihan sumber karbohidrat, yakni beras atau gandum. Diversifikasi atau keragaman pangan kemudian kembali dikampanyekan secara berulang-ulang.

Berasisasi vs Diversifikasi

Ketergantungan akut sumber pangan rakyat terhadap beras membuat penyelenggara negara kelimpungan. Hal ini dapat ditilik dari kebijakan impor beras sebanyak 500.000 ton yang digulirkan pada akhir 2022 hingga Februari 2023. Impor beras dilatari jumlah Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang dikuasai Bulog saat itu jauh dari batas minimal CBP yang dianggap aman yakni sebesar 1,2 juta ton. Problem serapan gabah dan beras yang dinilai minim bertolak belakang dengan klaim produksi padi sepanjang 2022 lalu yang melebihi target.

Impor beras juga kemudian menjadi gonjang-ganjing, mengingat pada 2022 pemerintah sempat mendapatkan penghargaan Swasembada Beras dari Institut Penelitian Padi Internasional (IRRI). IRRI menilai Indonesia telah berhasil mencapai swasembada beras dan meningkatkan ketahanan pangan nasional pada periode 2019 - 2021. Impor beras yang mencederai penghargaan tersebut menguak pertanyaan: apa sesungguhnya arti dari swasembada itu?

Berdasarkan ketetapan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) pada 1999, suatu negara bisa dikatakan swasembada jika produksi dalam negeri mencapai 90 persen dari kebutuhan nasional. Sehingga gelar swasembada tidak serta merta menjadikan Indonesia terbebas dari impor beras pada rentang 2019 - 2021. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2021 Indonesia masih mengimpor beras sebesar 407 ribu ton.

Angka ini lebih tinggi dibandingkan pada 2020 dengan besaran sekitar 356 ribu ton. Jumlah impor beras yang memang tidak terlalu besar apabila dibandingkan tahun-tahun yang lampau ditunjang oleh produksi padi yang cenderung stabil. Hal ini harus diakui berkat faktor cuaca yang berhasil mencukupi kebutuhan air bagi tanaman padi. Meskipun secara luasan panen padi mengalami penurunan sebesar 2,3 persen dari 2020 ke 2021 (BPS, 2021).

Dorongan impor juga kerap dikaitkan dengan besaran konsumsi. Namun pemerintah pada awal tahun ini mengklaim telah berhasil menurunkan konsumsi beras dari 92 kg ke posisi 85 kg per kapita per tahun. Nahas penurunan itu justru disambut kenaikan konsumsi terhadap gandum. Artinya peralihan pola konsumsi dari beras ke gandum sesungguhnya lebih berbahaya, karena seluruh gandum yang ada di republik ini berasal dari luar negeri.

Kesibukan kita yang terlalu fokus menata kelola perberasan dan membiarkan pasar mengendalikan importasi gandum per tahun terus meningkat, membuat diversifikasi pangan dinilai hanya sekadar semboyan. Konversi pangan dari gandum ke bahan pangan dalam negeri seperti sorgum, sagu, dan singkong (mocaf) tidak menjadi sebuah gerakan yang masif. Sehingga tidak relevan apabila diversifikasi pangan disandarkan pada hanya sekadar project. Karena itu peran keluarga petani mesti diperkuat dalam membantu capaian keragaman pangan, terlebih dalam mengisi Dasawarsa Pertanian Keluarga FAO 2019-2028.

Solusi Antisipasi

Kebijakan impor beras yang mengundang polemik sepenuhnya belum berakhir. Badan Pangan Nasional (Bapanas) dalam Prognosa Neraca Pangan Indonesia 2023 memperkirakan produksi beras masih akan surplus sebanyak 5,87 juta ton. Meskipun demikian, sisa impor beras masih akan masuk ke Indonesia sampai Februari 2023 ini. Sementara pada waktu yang sama sebagian besar wilayah akan menghadapi musim panen raya padi.

Psikologis pasar dengan sisa impor beras yang masuk, dan bersamaan dengan panen raya akan menyebabkan harga gabah dan beras ditingkat petani rendah. Hal ini terjadi di tengah mekanisme Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang tidak banyak berpengaruh. Justru ditemui HPP jauh di bawah harga pasar. Oleh sebab itu, diperlukan mekanisme jaminan harga yang lebih solid, semisal harga dasar untuk padi dan beras ditingkat petani. Sehingga penetapan harga ditingkat petani berlaku untuk semua kalangan pembeli, tidak hanya diperuntukkan bagi Perum Bulog.

Selain itu, pembenahan yang nyata harus dilakukan. Terkhusus mengenai penyelarasan data antar kementerian/lembaga, atau dengan cara menyepakati satu data secara bersama menggunakan BPS. Terkait Prognosa Bapanas yang memperkirakan ketersediaan beras pada 2023 surplus diharapkan bisa dijadikan salah satu basis data. Dengan begitu kesewenangan impor yang datang tiba-tiba bisa dideteksi lebih awal dan bahkan dihindari. Apalagi tahun politik yang cukup sensitif ini tidak boleh menyeret pangan sebagai hajat hidup rakyat banyak ke pusaran kepentingan kelompok.

Angga Hermanda Sekretaris Lembaga Kajian Reforma Agraria dan Kedaulatan Pangan Damar Leuit

(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT