Pidana mati yang dijatuhkan kepada Ferdy Sambo masih berkecamuk dalam berbagai perbincangan publik. Sebagian menyatakan keadilan telah tampak dalam putusan. Di lain sisi, keprihatinan juga timbul sebagai ekspresi ketidakpuasan atas penjatuhan pidana mati. Dalam perspektif hukum dan pemidanaan, kontroversi ini memang tidak terelakkan. Pidana mati sejak lama telah punya keunikan dari basis teori, yang telah menghasilkan kubu retensionis (pro) dan kubu abolisionis (kontra).
Meskipun begitu, menghormati putusan hakim merupakan salah satu opsi yang bijak. Selain sosok hakim sebagai pengadil tertinggi dalam sebuah permasalahan hukum, vonis pidana mati nyatanya masih dan merupakan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Artinya, apabila dalam fakta persidangan terungkap unsur-unsur yang menurut hakim memenuhi kondisi penjatuhan hukuman maksimal, pidana mati sah dan legal untuk diberikan. Inilah basis sistem hukum yang dianut oleh negara kita. Dan ini bagian dari supremasi hukum.
Salah satu ironi paling tragis dari kasus ini adalah fakta bahwa sang terdakwa adalah aparat penegak hukum. Ini bagian yang juga di-mention oleh hakim dalam pembacaan putusannya. Mereka yang secara etis, harusnya menjadi penegak tiang keadilan, ketertiban, dan keserasian di tengah masyarakat, justru menabrak tonggak yang harusnya dibangun. Tanggalnya tanggung jawab etis ini akhirnya diganjar dengan mahal.
Pemberatan bagi Terdakwa
Tanpa mengesampingkan sifat dasar manusia yang penuh dengan kecerobohan, kelalaian, dan kesalahan, hukuman tetap harus dijatuhkan secara proporsional. Bahkan sebetulnya kondisi itulah yang menjadi alasan mengapa hukum diperlukan manusia. Kepentingan antarmanusia selalu perlu ditertibkan dengan hukum, sebab gesekan kepentingan rentan menyebabkan gangguan, cekcok, bahkan perampasan hak.
Capaian terpenting dari hukum ialah pengaturan terhadap tingkah laku manusia. Sekali manusia bisa diatur tingkah lakunya, tujuan masyarakat yang mulia berpotensi diperoleh. Oleh sebab itu, hukum mestinya ditegakkan oleh sosok aparatur yang cemerlang karakternya. Tanpa adanya karakter hebat dari aparat penegak hukum, tujuan hukum menjadi sebuah omong kosong. Ketertiban tidak bisa tercipta dari aparat yang mudah disogok, gampang terintimidasi, atau emosional.
Efektivitas sistem hukum menurut Friedmann terbagi dalam pengaktifan tiga unsur, legal substance, legal culture, dan legal structure. Aparat penegak hukum, tidak bisa dinafikan, krusial dalam sistem tersebut. Karena aparat penegak hukum yang ideal jadi prasyarat dalam membangun sebuah negara hukum, pelanggaran hukum yang dilakukan oleh oknum penegak hukum jelas harus diganjar maksimal. Orientasinya tentu untuk menjaga supremasi hukum itu sendiri.
Tidak boleh ada persepsi terdapat gradasi dalam perlakuan hukum. Semua setara di hadapan hukum (equality before the law). Persepsi tentang adanya gradasi dalam perlakuan hukum, rentan menimbulkan anarki. Artinya ada celah untuk melihat bahwa hukum tidak konsekuen dalam penerapannya.
Berbagai faktor ini jelas memberikan pemberatan bagi terdakwa. Fakta bahwa dirinya merupakan 'jenderal', kariernya yang malang melintang, ilmunya yang kenyang, serta statusnya sebagai penegak hukum kontradiktif dengan delik yang dilakukannya. Bahkan meskipun motif itu benar adanya, emosinya sebagai manusia (a.k.a kepala keluarga) mungkin bisa dipahami, namun reaksinya sebagai pimpinan penegak hukum yang terhormat jelas tidak masuk akal.
Dia harusnya punya pilihan bertindak yang lebih layak. Dan, akhirnya dia berhadapan dengan pasal yang menakutkan. Sebuah pasal yang menerapkan hukuman mati dalam hukuman maksimalnya. Dari sini kita belajar banyak tentang sebuah tanggung jawab pidana. Sekaligus sebuah pelajaran di mana hukuman mati, memiliki aspek kepentingan besar dalam penjatuhannya. Khususnya untuk kepentingan umum.
Menjaga Kepentingan Umum
Sebuah hukuman menjadi penting untuk menjaga supremasi aturan-aturan hukum. Tanpa adanya sanksi atau hukuman, norma hukum kehilangan daya paksa sebagai cirinya yang khas. Norma hukum ditakuti sebab norma hukum dibekali kemampuan untuk menerapkan sanksi terhadap mereka yang tidak mematuhinya. Karena hukum difungsikan salah satunya untuk meraih ketertiban, maka secara otomatis sebuah masyarakat tertib membutuhkan adanya hukuman sebagai salah satu instrumen hukum.
Hukuman mati pun difungsikan untuk itu. Meskipun secara sepintas, hukuman mati lebih condong pada aspek pembalasan terhadap 'pelaku kejahatan', di sisi lain hukuman mati punya aspek yang berkaitan dengan ketertiban umum. Pendekatan hukuman mati dari aspek ketertiban, ditujukan agar tidak seorang pun anggota masyarakat yang boleh merenggut secara tanpa hak kehidupan orang lain atau kehidupan sosial yang berlangsung dalam sebuah masyarakat.
Karena itu, jenis pidana yang diancamkan dengan hukuman mati tergolong sebagai extra ordinary crime (kejahatan luar biasa). Jenis pidana ini ditinjau dari sisi dampak yang ditimbulkannya, dinyatakan sebagai perbuatan yang menimbulkan gangguan yang luar biasa besar terhadap kelangsungan hidup sebuah masyarakat. Secara eksplisit, konteks ini ingin menunjukkan hukum ingin memperlakukan secara khusus, orang-orang yang 'mengusik' tatanan ketertiban sebuah masyarakat.
Dengan begitu, apakah hukum merenggut secara paksa hak hidup orang lain? Ini ada benarnya. Tetapi perlu dipahami, bahwa hukum itu bekerja dengan kepentingan yang lebih luas. Kepentingan lebih luas akan bicara tentang manfaat yang optimal dari sisi kepentingan masyarakat umum. Hukum diharuskan 'tega' apabila dari kacamata kepentingan umum, hukuman maksimal diperlukan untuk menjaga kepentingan yang lebih besar. Dalam perspektif ini, kemanusiaan dibangun justru dengan ketegasan, yang membuat setiap anggota masyarakat sadar bahwa mereka tidak bisa bertindak sesukanya.
Oleh sebab itu penerapan sebuah hukuman penting dilihat dengan konteksnya. Mengutip pandangan Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia Ari Wibowo, dalam suatu putusan paling tidak hakim akan mempertimbangkan tiga kepentingan sekaligus, yaitu terdakwa sendiri, korban, dan masyarakat. Untuk tindak pidana yang relatif ringan atau sedang hakim biasanya masih mempertimbangkan kepentingan terdakwa untuk memperbaikinya (rehabilitasi). Sementara untuk tindak pidana yang berat, hakim akan lebih cenderung mempertimbangkan kepentingan korban dan masyarakat (general deterrence).
Nah, tentunya dalam kasus Ferdy Sambo, hakim punya pandangannya sendiri. Sebuah kalkulasi rumit yang terdiri dari kumpulan fakta hukum, unsur-unsur pemberat, dampak nyata yang timbul, serta kepentingan umum yang harus diperhatikan. Dan, tentang akhirnya putusan ini dijatuhkan, semoga itu dilandasi semangat untuk menjaga kepentingan umum yang jauh lebih luas.
Agil Mahasin Legal Drafter