Pidato Megawati dan Urgensi Manajemen Keluarga Islami

ADVERTISEMENT

Kolom

Pidato Megawati dan Urgensi Manajemen Keluarga Islami

Rahmat Sahid - detikNews
Jumat, 24 Feb 2023 12:01 WIB
Wakil Ketua LTN PBNU Rahmat Sahid
Foto: Pribadi-Wakil Ketua LTN PBNU Rahmat Sahid
Jakarta -

Presiden kelima Republik Indonesia, Megawati Soekarno Putri kembali jadi bahan pembicaraan publik. Pidatonya di acara Kick Off Meeting Gerakan Semesta Berencana Mencegah Stunting di Jakarta, Kamis (16/2) mengundang polemik. Potongan pidato yang membahas ibu-ibu pengajian yang dikaitkan dengan fenomena stunting di Indonesia, mendapat beragam tanggapan.

Di media sosial, para ibu juga berlomba memberikan komentar. Bahkan ada yang sampai menyebutkan bahwa Megawati melontarkan pernyataan tersebut karena tidak memahami situasi yang terjadi di masyarakat kecil, yang menjadikan pengajian sebagai sarana 'healing' terbaik bagi para ibu.

Tanpa disadari, komentar tersebut justru membuka fakta yang selama ini ada tapi cenderung diabaikan.

Jika menilik ajaran Islam, yang seharusnya tergugah dengan pernyataan Megawati tersebut seharusnya adalah para suami. Karena kewajiban utama suami dalam Islam adalah mendidik istri dalam ilmu agama. Syaikh Musthafa Al-'Adawi hafidzahullahu Ta'ala berkata, "Seorang suami hendaknya mendidik (mengajarkan) istrinya hal-hal yang bermanfaat untuk perkara agama dan dunianya." (Fiqh Ta'aamul baina Az-Zaujain).

Fenomena para istri yang menghabiskan waktu untuk ikut pengajian di luar rumah, sedikit banyak memberikan gambaran kegagalan suami dalam menjalankan salah satu kewajibannya di rumah tangga.

Anjuran Ibu Mega sejatinya juga tidak menyelisihi aturan agama terkait rumah tangga. Quran Surat Al Ahzab ayat 33 tegas memaparkan kemuliaan para wanita, para istri, para ibu yang tetap berada di rumah jika tidak memiliki kepentingan mendesak untuk keluar rumah.

Membedah Retorika Pidato Megawati

Sebagian besar tanggapan publik terhadap pidato Megawati dapat diasumsikan sebagai cermin dari konklusi yang timbul dari prasangka. Hal tersebut terlihat dari diksi yang dipakai dalam menggambarkan pidato Megawati, seperti 'melarang pengajian', 'tidak suka pengajian' dan lain sebagainya. Akibatnya, diskursus publik akhir-akhir ini masih dipenuhi opini negatif yang belum sepenuhnya menyentuh permasalahan utama.

Padahal Rasulullah SAW menganjurkan kepada para umatnya untuk selalu berprasangka baik kepada saudara seiman. Karena prasangka baik menghindarkan kita dari gagal paham dalam menangkap poin penting sebuah pernyataan.

Dunia keilmuan modern juga mengamini pentingnya prasangka baik ini dalam sebuah istilah bernama objektivitas. Semangat objektivitas mampu menangkap sifat alamiah atau empiris dari sebuah objek, tanpa tergantung pada fasilitas apapun dari subjek. Dalam bahasa sederhana, kita tidak boleh melihat sesuatu dari siapa yang menyampaikan, tapi dari pesan apa yang disampaikan.

Terkait pidato Megawati, jika ditelisik lebih seksama, pesan utamanya justru terletak pada frase 'manajemen rumah tangga'. Sebagaimana sebuah retorika, maka konklusi akan cenderung berada di kalimat pamungkas (Aristoteles, 2018). Dan berikut ini kutipannya.

"Maksud saya, nanti Bu Risma saya suruh, nanti Bu Bintang saya suruh, tolong bikin manajemen, manajemen rumah tangga."

Berdasarkan asumsi tersebut, maka penekanan utama dalam pidato Megawati bukan pada aktivitas pengajiannya, melainkan pada manajemen waktu. Aktivitas boleh berubah, tapi jika manajemennya masih sama, maka tentu kritik tersebut akan terus ada.

Langkah berani Megawati untuk membahas fenomena tersebut juga nampaknya bukan impulsif semata, melainkan berdasarkan pertimbangan yang matang. Hal tersebut tercermin dari kalimat awal Mega yang beberapa kali meminta maaf, serta menyiratkan bahwa ketika ia mengungkapkan fakta tersebut, maka ia akan di-bully.

Mengabaikan resiko, nyatanya Mega tetap mengungkapkan pernyataan yang -sudah diduga- kontroversial tersebut. Nampaknya ada situasi penting dan mendesak yang hendak diuraikan oleh Ketua Umum PDI Perjuangan terkait stunting.

Stunting dan Manajemen Keluarga Islami

Sebagai negara berpenduduk terbesar keempat di dunia, Indonesia memiliki beragam masalah yang berkaitan dengan kesejahteraan manusia. Salah satunya adalah stunting. Stunting adalah kondisi di mana anak di bawah usia tiga tahun mengalami pertumbuhan yang lambat akibat berbagai faktor, utamanya pola makan dan gizi yang tidak seimbang.

Data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021 menunjukkan prevalensi kasus stunting di Indonesia mencapai 24,4 persen. Artinya ada satu dari empat balita di Indonesia yang berpotensi mengalami stunting. Ini cukup memprihatinkan, karena standar WHO menyatakan jumlah kasus stunting tidak boleh melebihi angka 20 persen.

Hasto Kristiyanto dalam siaran pers di Sekolah Partai DPP PDIP, Kamis (23/2) juga menyebutkan bahwa permasalahan stunting ini bukan main-main, karena bisa mengancam masa depan Indonesia 24 tahun yang akan datang. Berbagai upaya juga sudah dilakukan pemerintah, tapi hingga tahun 2023 ini, tingkat stunting Indonesia masih stagnan di angka 22 persen.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy, juga memaparkan kompleksitas fenomena stunting. Dalam siaran pers tanggal 14 Januari 2023, ia menyebutkan bahwa stunting bukan sekedar permasalahan kesehatan. Faktanya, kemiskinan ekstrem dan stunting memiliki irisan hingga angka 60 persen. Karena itulah Muhadjir menggunakan istilah 'keroyokan' untuk bisa mengentaskan kasus stunting melalui intervensi gizi spesifik dan sensitif. Intervensi gizi spesifik berhubungan dengan peningkatan gizi dan kesehatan, sementara itu intervensi gizi sensitif dilakukan dengan penyediaan air bersih, MCK dan sanitasi.

Namun yang tidak kalah mengejutkan, Institut Gizi Indonesia juga merilis fakta bahwa ada 30 persen anak dari keluarga mapan yang terkena stunting. Artinya kemiskinan hanyalah satu dari pencetus stunting akibat kurangnya akses ke makanan bergizi. Sementara itu pola asuh serta pengetahuan akan gizi seimbang tidak bisa 'dibeli' dengan uang. Masing-masing keluarga selayaknya menginvestasikan waktu untuk mempelajari hal tersebut, terlepas dari status sosial ekonominya.

Di sinilah kejelian Mega melihat titik kritis penanganan stunting di Indonesia. Bahwa pemerintah pada dasarnya hanya bisa menjadi mesin pendorong melalui berbagai kebijakan publik pengentasan stunting. Sementara itu mesin utama perubahan justru terletak pada peran aktif keluarga.

Keputusan untuk 'menyentil' fenomena pengajian ibu-ibu juga tidak dapat dipisahkan dari fakta bahwa mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Pernyataan tersebut nampaknya diharapkan memicu diskursus publik terkait tuntunan berumahtangga yang baik berlandaskan agama, yang mengarah pada perbaikan pola manajemen rumah tangga di Indonesia.

Pengakuan bahwa mengikuti pengajian adalah bentuk 'healing' dari stres, dapat disebut sebagai bagian dari puncak gunung es permasalahan manajemen rumah tangga di Indonesia. Karena seharusnya kebutuhan 'healing' dapat terpenuhi melalui kegiatan rekreasional bersama seluruh keluarga.

Dalam pernyataan tersebut sang Ibu seolah hendak menyiratkan bahwa situasi di dalam rumah tidak cukup nyaman, bahkan melelahkan, sehingga mereka membutuhkan stress release di luar rumah. Tentu bukan sebuah rahasia bahwa praktik patriarki masih mendominasi di Indonesia. Seluruh urusan rumah termasuk pengasuhan anak, seolah menjadi kewajiban istri. Suami hanya sibuk bekerja di luar rumah.

Pidato Megawati layak menjadi bahan renungan bersama, bagaimana Islam sebenarnya mengatur manajemen rumah tangga menuju keadaan yang didambakan yakni sakinah, mawardah, warahmah. Bagaimana peran suami sebenarnya dalam Islam, yang disebutkan sebagai pengayom rumah tangga. Tentu bukan hanya sekedar bekerja di luar rumah saja. Ada kebutuhan fisik dan psikologis dari istri dan anak yang harus dipenuhi untuk menghasilkan keluarga yang sehat lahir batin.

Terpenuhinya kebutuhan lahir batin istri dan anak akan mempermudah tercapainya tujuan utama keluarga. Yakni menghasilkan generasi kuat, sesuai firman Allah dalam Quran surat An Nisa ayat 9. Generasi yang kuat tentu saja yang sehat fisik dan jiwanya. Tentu ini sejalan dengan program pemerintah dalam upaya menurunkan angka stunting anak di Indonesia.

Mengubah Polemik Menjadi Peluang

Isu kontroversial terkait stunting sebenarnya sudah dua kali mengemuka di ruang publik. Pertama ketika influencer yang bermukim di Jerman, Gita Savitri, melontarkan komentar dengan menggunakan kata stunting di media sosial Instagram miliknya. Namun baik media massa, pemerintah maupun organisasi pemberdayaan belum mampu mengolah isu tersebut sebagai peluang mensosialisasikan pentingnya penanganan stunting di Indonesia.
Media massa bahkan hanya cenderung membebek dengan opini netizen.

Kini peluang itu muncul kembali lewat pernyataan Megawati Soekarnoputri. Mengutip teori marketing politik Jennifer Lees - Marshment (2009) sebuah tindakan politik dapat diaplikasikan ke dalam teori marketing dengan tetap berpegang pada etika. Karena itu pernyataan politik yang viral dapat menjadi sebuah keunggulan, jika kita mengacu kepada teori viral marketing.

Dengan menambahkan hashtag yang tepat, judul menarik serta pembicara yang persuasif, bukan tidak mungkin pembahasan terkait stunting akan terus merajai kolom pencarian di internet. Netizen akan dengan sukarela menyimak, mengomentari, bahkan membagikan berita tersebut kepada yang lain, tanpa perlu usaha lebih dari tim humas.

Harapannya, momentum ini terus terjaga dengan diskursus yang menyentuh inti permasalahan penanganan stunting di Indonesia. Sehingga kelak bukan hanya keriuhan yang merajai media, tapi juga diskusi rasional yang mengarah pada pemahaman yang lebih baik tentang pola asuh, pola gizi serta manajemen keluarga. Tujuan akhirnya tentu menurunkan tingkat stunting di Indonesia. Yang menjadikan negara ini kuat, baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur. Wallahu a'lam bishowab.

Rahmat Sahid, Wakil Ketua LTN PBNU

(ega/ega)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT