Hasrat Besar Tanpa Daya

ADVERTISEMENT

Hasrat Besar Tanpa Daya

Iwan Yahya - detikNews
Jumat, 24 Feb 2023 13:20 WIB
Iwan Setiawan (Dok. Pribadi)
Foto: Iwan Yahya (Dok. Pribadi)
Jakarta -

Ketika isi kepala hanya hasrat bertalu nun tak berbekal daya dan integritas maka virus keculasan seolah menemukan pintu menuju inangnya. Terlebih jika itu bertaut dengan mental koruptif dalam lingkungan yang tersusupi simbiosis dan permufakatan jahat. Ketiadaan integritas meruntuhkan moral. Menjungkirbalikkan tatanan kerja akal sehat dan kepatutan.

Keadaan semacam itu sedemikian sering terjadi di tengah masyarakat tak terkecuali dunia pendidikan. Menimbulkan tanya, sungguh seburuk itukah potretnya? Liputan Spotlight DetikX edisi 24 Oktober 2022 mengupas tentang bisnis joki skripsi yang ternyata telah tumbuh bagaikan gurita. Kenakalan tak biasa bertaut ketidakmampuan yang berujung menjadi ketidakpatutan perbuatan oknum mahasiswa dalam kongsi joki skripsi.

Ternyata kisah kelam itu masih memiliki sisi mencekam yang lebih memalukan. Sajian hasil liputan investigasi Kompas seperti dimuat tanggal 10 dan 11 Februari 2023 laksana luka bernanah universitas kita. Betapa tidak, oknum dosen bahkan calon professor ternyata melakukan kejahatan yang serupa. Terlibat dalam praktik tercela perjokian karya ilmiah. Sebagian dari kita mungkin akan terhenyak dan berkata ini bencana! Tak heran jika sesudahnya bermuculan banyak perspektif yang mengupas persoalan itu dalam nada tak rela.

Para insan akademik yang berhikmad dengan integritas penuh tentu merasa sangat dirugikan. Fakta liputan Kompas itu laksana sampah busuk yang ditumpahkan ke wajah. Nun di sisi berbeda, apakah oknum pelaku tindakan tercela itu memikirkan dampak buruk dari perbuatan mereka? Jelas tidak. Kejahatan semacam itu memang bukan barang baru. Nun tetap saja menimbulkan tanya. Mengapa dosen dan bahkan calon professor yang dipandang hormat dapat berbuat seculas itu?

Hasrat yang Tak Mengenal Jera

Rapuhnya moral dan integritas akademik dalam sistem inovasi universitas yang tidak kokoh adalah simpulnya. Menyisakan lubang peluang simbiosisme keculasan dan prilaku egois di satu sisi dengan kerakusan di sisi lain. Menggoda pribadi yang tidak mampu menghadirkan keunggulan berkarya. Tekanan pekerjaan dan hasrat untuk ternilai layak berayun selaras dengan mental koruptif. Itu kemudian beresonansi dengan para pemburu cuan di ceruk pasar terbuka. Maka bisnis predator itu lalu menyubur membentuk simpul Segitiga Bermuda Keculasan yang menghisap dengan nafas jahat.

Liputan Kompas mengisyaratkan betapa tuntutan untuk publikasi di jurnal bereputasi terindeks Scopus berselaras dengan ambisi universitas untuk mencetak sebanyak mungkin professor.

Terbius oleh angka dan label universitas berkelas dunia. Ranking adalah angka, indikator kinerja utama (IKU) dan jumlah professor itu angka. Lalu terjadilah. Apakah memang cuma demikian lalu seolah dharma universitas itu tuntas tertunaikan? Para insan kampuslah yang elok menjawabnya.

Praktik kurang elok atas nama kepentingan percepatan professor seperti diungkap Kompas tentu saja menimbulkan tanya. Apakah itu merupakan penanda terinfeksinya sistem formal universitas kita? Jika benar itulah yang terjadi, maka dampaknya laksana menempel peranko pada amplop kosong. Tersampaikan ke tujuan nun tak menumbuhkan tebaran dampak yang membuahkan harapan.

Sengkarut ini menuntut pergeseran kesadaran dan keserempakan pola bekerja. Ekosistem inovasi bangsa, termasuk kebijakan pengembangan karir dan insentif riset di satu sisi harusnya menjadi acuan penyelaras daya membangun portofolio Program Studi di semua universitas pada sisi yang lain. Portofolio yang kemudian menjadi penciri keunggulan tertelusur dari baiknya budaya akademik berprestasi sebuah universitas.

Sanksi disiplin keras juga elok diberlakukan. Pelaku akademik misconduct tidak boleh dipandang sebagai korban yang tidak memiliki wawasan etika akademik. Kejahatan yang kini menjadi buah bibir itu berasosiasi dengan mental koruptif jiwa tertawan yang tak kuasa menyajikan bukti keunggulan berpengetahuan yang berkebaruan. Merajut ekspektasi tak pantas sembari menjalani dharma sekedar merontokkan kewajiban. Prilaku yang lalu tumbuh menjadi parasit yang menggerogoti integritas dalam sistem inovasi.

Pengingkaran integritas dan moral akademik seperti itu dapat terjadi dimana saja. Kasus Hwang Woo Suk tahun 2006 sangat menggemparkan dunia. Dia adalah professor dan bintang bioteknologi Korea. Papernya tentang sel punca yang terbit di Science terbukti merupakan hasil perbuatan plagiarisme. Paper itu kemudian ditarik dan ia harus menjalani hukuman penjara karenanya.

Kasus lain, Jan Hendrik Schon seorang fisikawan di Bell Laboratories. Dia terbukti melakukan fabrikasi data. Sebanyak sembilan belas paper yang terbit di Nature, Science dan jurnal yang dikelola American Physical Society pun ditarik karenanya. Schon mendapat sanksi berat. Selain tidak diperbolehkan menerima dana riset selama 8 tahun, gelar doktornya dicabut oleh Universitas Konstanz pada tahun 2004.

Ada pula kasus Mahesh Visvanathan dan Gerald Lushington di University of Kansas tahun 2012. Keduanya melakukan tindakan penjiplakan karya ilmiah orang lain lalu menerbitkannya atas nama mereka. Di Columbia University Bengu Sezen melakukan falsifikasi data agar kesimpulan disertasi yang ditulisnya sesuai dengan kehendaknya. Buruknya lagi, tindakan itu berdampak merusak kepada juniornya yang kebetulan berada dalam proyek riset yang sama.

Ujung dari semua kekacauan semacam itu sepenuhnya berpulang kepada kalangan universitas itu sendiri. Moral dan integritas akademik laksana jantung dan nadi bagi marwah universitas. Sanggupkah kita membangun budaya berprestasi dengan moral akademik tangguh? Bernyalikah menghentikan tunjangan dan bila perlu mencabut gelar akademik siapa pun yang terbukti sebagai pelaku keculasan? Pernahkah itu kita lakukan untuk menghadirkan efek jera?

Berfokus Kepada Dampak

Sukses Broad Institute elok menjadi inspriasi tentang definisi reputasi sebuah institusi pendidikan tinggi. Lembaga itu dilahirkan karena kesadaran dan keserempakan bergerak. Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan Harvard University yang sadar benar bahwa portofolio mereka tertinggal jauh di belakang Tsinghua University.

Maka berdirilah Broad Institute sebagai solusi taktis bersama yang dirancang untuk berfokus menciptakan inovasi berimpak. Sajian data LexisNexis dalam Innovation Momentum 2022: The Global Top 100 membuktikannya.

Broad Institute tercatat sebagai institusi dengan impak kompetitif tertitnggi di dunia. Melampaui Tsinghua University dan kedua induk semangnya. Laporan sejenis edisi 2023 masih menempatkan Broad Institute sebagai instutsi dengan impak kompetitif tertinggi.

Sementara posisi Tsinghua University sebagai penyandang portofolio inovasi terbesar digeser olej Xi'an Jiaotong University. Strategi dan pilihan berkarya berfokus pada impak semacam inilah yang tampaknya belum kita lakukan sepenuh hati.

Saya akan menyandingkan pernyataan itu dengan sajian data Scopus. Penelusuran yang saya lakukan tanggal tanggal 13 Februari 2023 dapat kita jadikan acuan. Broad Institue memiliki 4007 penyumbang artikel ilmiah yang namanya tercatat di basis data Scopus. Pemegang indeks h tertingginya adalah Eric S Lander dengan nilai 271. Ia telah mempublikasikan 662 jurnal dengan jumlah sitasi 446942.

Jumlah 4007 itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan MIT dan Harvard yang berturut-turut memiliki 42928 dan 22287 penulis jurnal. Rekor h indeks tertinggi di MIT dicatatkan Robert Samuel M. Langer pada angka 246.

Ia memiliki 1812 publikasi dengan sitasi 253087. Sementara itu di Harvard ada David A. Weitz dengan indeks h 166 dari 772 karya ilmiahnya yang telah disitasi sebanya 99237 kali. Bagaimana dengan Tsinghua University?

Tsinghua University memiliki 77974 penyumbang artikel ilmiah. Yadong Li mencatatkan h indeks tertinggi di angka 169. Publikasinya berjumlah 763 dengan 104748 sitasi. Tampak bahwa gabungan jumlah penulis di MIT, Harvard dan Broad Institute memang tak dapat mengalahkan Tsinghua. Namun tidak demikian dengan sitasinya.

Pertanyaan menarik lain adalah, apakah para pemenang Nobel selalu memiliki h indeks tertinggi? Sejarah Cambridge University baik kita jadikan teladan. Universitas itu telah mencatatkan 96 nama pemenang Nobel. Mulai dari Lord Rayleigh pemenang Nobel Fisika tahun 1904 hingga Didier Queloz yang juga dianugerahi Nobel Fisika tahun 2019.

Queloz memiliki h indeks 93, 533 publikasi dan disitasi sebanyak 35128 kali. Ratcliffe Peter yang dianugerahi Nobel Kedokteran tahun 2019 tercatat memiliki h indeks 112 dengan sitasi sebanyak 61272 dari 343 jurnal. Catatan keduanya bahkan berada di bawah Richard H. Friend orang yang memiliki h indeks tertinggi di Cambridge dengan nilai 176 dan 150358 sitasi dari 1137 jurnal. Namun Richard H. Friend bukan nobelis.

Cerita serupa terjadi juga di MIT dan Tsinghua University. Abhijit Vinayak Barnejee memenangkan Nobel Ekonomi 2019 bersama Michael Kremer (Harvard). Ia memiliki h indeks 56, 16011 sitasi dari publikasinya yang berjumlah 109 jurnal ilmiah. Sementara itu Chen Ning Yang pemenang Nobel Fisika tahun 1957 memiliki sitasi sebanyak 26550.

Itu terkumpul dari 205 publikasi dan memberinya skor h indeks 61. Jelas bahwa kedua pemenang nobel itu bukan pemegang rekor h indeks di institusi mereka. Artinya, penciptaan dampak itu jauh lebih penting. Lebih dihargai.

Bagaimana potret negeri kita? Tengoklah laman Sinta. Kita sejatinya memiliki banyak pribadi berintegritas yang berkarya dalam hikmat kuat. Nun tak dapat disangkal kita memang perlu banyak berbenah. Penjelajahan di laman Scopus dengan pemilahan berdasarkan h indeks di masing-masing universitas membawa kita pada temuan keadaan prihatin.

Ternyata masih ada professor kita yang memiliki h indeks 2 atau bahkan 1. Tentu saja timbul pertanyaan. Mengapa demikian? Bukankah mereka membimbing riset mahasiswa master dan doktoral yang terikat kewajiban publikasi?

Ini tentu dapat menjadi pintu masuk untuk sedikit lebih dalam membaca keadaan. Alih-alih menguatkan hasrat mememilih jurnal bereputasi untuk target publikasi, sebagian dari kita malah lebih merasakan tuntutan publikasi sebagai beban pekerjaan. Bukan justru menjadi bagian respek dan manifestasi hasrat berkontribusi kepada bangun kemajuan ilmu pengetahuan. Maraknya kasus perjokian dalam berbagai ragamnya merupakan indikasi kuat akan hal itu.

Sajian lompatan kreatif serta penguatan regulasi progresif yang lebih menekankan impak kompetitif dari pada sekedar angka sebagai penanda sukses karir dalam baiknya dharma sangat diperlukan. Negara harus hadir secara kuat dalam gerakan seperti itu. Publik pun memiliki peluang peran kontrol yang penting. Bersediakah menjadi bagian kesadaran yang tidak memberi ruang toleransi untuk perbuatan merusak itu? Wallahualam.

Iwan Yahya. Dosen dan peneliti The Iwany Acoustics Research Group (iARG) Program Studi Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta.

(rdp/rdp)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT