Seorang teman yang sebentar lagi akan dikukuhkan menjadi Guru Besar tampak tidak nyaman. Selain curhat ke saya bahwa karyanya di jurnal internasional bereputasi adalah riil, ia juga menulis beberapa catatan "pembelaan" yang ia bagikan di beberapa grup media sosial. Pasalnya, beberapa waktu lalu, sebuah media arus utama nasional merilis laporan tentang praktik perjokian guru besar atau profesor. Liputan tentang praktik "joki" profesor tersebut tentu saja sedikit banyak menggiring persepsi yang kurang nyaman tentang jabatan akademik Guru Besar yang sebentar lagi disandangnya. Seakan memojokkannya pada status "tersangka".
Jika mau jujur, praktik "joki" guru besar yang diungkap oleh media arus utama tersebut merupakan fenomena gunung es. Banyak "ruang remang" yang sebenarnya bermain dalam dunia akademik, termasuk dalam rangka meraih gelar profesor. Regulasi yang cukup pelik tentang persyaratan menjadi guru besar menjadi hulu dari praktik ini. Untuk menjadi seorang Guru Besar, dosen harus memiliki persyaratan khusus: menulis artikel di jurnal internasional bereputasi.
Jurnal internasional bereputasi didefinisikan sebagai jurnal yang terindeks pada lembaga pengindeks besar dunia, yakni Scopus dan/atau Web of Science (WOS). Itu pun dengan beberapa catatan, jurnal tersebut harus mencapai peringkat sekian, berada di kuartil sekian, dengan angka SJR sekian. Sehingga ini dirasa menjadi "momok" yang menakutkan bagi para dosen, khususnya yang --mohon maaf-- sudah senior.
Bagi dosen senior, tentu saja tidak mudah untuk dapat terbit di jurnal dengan kriteria tersebut. Mulai dari menyiapkan riset, hunting jurnal, menysuaikan gaya selingkung, menggunakan piranti penunjang, misalnya manajemen referensi, menerjemahkan dan melakukan proofreading bahasa Inggris, submit di jurnal dengan berbagai operating system yang beragam, sampai pada proses revisi artikel, editing, dan persiapan terbit. Belum lagi pembayaran artikel "lintas negara", yang tentu saja tidak semudah transfer antarbank nasional. Dibutuhkan kartu kredit misalnya, atau aplikasi pembayaran internasional semacam Paypal.
Sederet kerumitan tersebut masih belum cukup; ada ancaman terjebak pada jurnal-jurnal predator, jurnal palsu, jurnal kloning, atau istilah sejenis yang intinya menjadikan publikasi tersebut tidak dianggap sebagai jurnal internasional bereputasi. Dari penjelasan panjang ini sebenarnya saya ingin mengatakan, bagi sebagian dosen senior, akan mengalami kesulitan teknis dan administratif tersebut. Nah, di sinilah dibutuhkan sentuhan dan kontribusi oleh dosen muda yang biasanya lebih milenial.
Saat ini, beberapa kampus sedang menggenjot program-program yang berbasis pada pencapaian jabatan Guru Besar. Mengapa? Karena keberadaan Guru Besar, baik secara kuantitatif maupun kualitatif menjadi salah satu indikator kemajuan, prestasi, dan peringkat perguruan tinggi. Program-program ini biasanya di-setting sedemikian rupa supaya mampu membantu menangani permasalahan yang terkait pemenuhan persyaratan Guru Besar, khususnya persyaratan khusus yakni artikel jurnal internasional bereputasi. Dibuatlah tim kolaborasi yang biasanya mengkombinasikan dosen senior dan dosen muda tersebut.
Jumlah keanggotaan tim biasanya sangat bervariasi, bisa kurus, bisa saja gemuk. Keberadaan tim inilah yang kemudian bisa dipandang dalam garis spektrum yang panjang. Salah satu ujung spektrum tersebut bisa dimaknai dengan agen atau joki.
Joki Guru Besar dalam hal ini adalah tim atau agen --mereka dominan dan mendominasi kerja. Sang dosen calon Guru Besar yang seharusnya memiliki dominasi karya, terdistorsi oleh kinerja tim. Pada pola ini, biasanya kontribusi sang calon profesor tidak lebih pada sektor finansial. Jika pola kerjanya seperti ini, layak jika kemudian ditemukan dan dijuluki sebagai "joki profesor".
Namun, tidak sedikit pula sang calon Guru Besar ini memiliki karya dan kinerja yang luar biasa, yang terhambat oleh hal teknis dan administratif, seperti yang dijelaskan sebelumnya. Ibaratnya, ia memiliki kontribusi 80-90% dalam artikel publikasi, tim hanya membantu menyelesaikan 10-20% ihwal teknis dalam publikasi artikel tersebut. Jika polanya seperti ini, maka saya rasa keberadaan tim atau apapun namanya tidak menjadi masalah.
Regulasi yang saat ini berlaku kiranya tidak menempatkan jabatan dan gelar Guru Besar sebagai terminal akhir bagi karya akademik. Setelah jadi profesor, ia tetap harus berkarya dan terus berkontribusi dalam dunia akademik. Guru Besar tersebut "dipaksa" tetap berkarya, misalnya melalui regulasi: selama tiga tahun harus memiliki artikel publikasi di jurnal internasional bereputasi.
Saya yakin, joki profesor ini merupakan kutub paling ekstrem dari spektrum tim pendampingan, yang tentu saja jumlahnya tidaklah banyak. Artinya, banyak profesor yang benar-benar berkarya, produktif, senantiasa memberikan kontribusi bagi perkembangan ilmu pengetahuan, seni, dan teknologi. Jika ada profesor yang menggunakan joki, itu hanyalah oknum.
Muhamad Mustaqim dosen IAIN Kudus, editor Jurnal QIJIS