Perjokian Karya Ilmiah Marak?

ADVERTISEMENT

Kolom

Perjokian Karya Ilmiah Marak?

A Fahrur Rozi - detikNews
Selasa, 28 Feb 2023 11:15 WIB
Daftar pustaka adalah kumpulan sumber yang digunakan sebagai referensi penulisan suatu naskah atau karya ilmiah. Simak cara menulis daftar pustaka dari jurnal.
Ilustrasi: Unsplash
Jakarta -

Baru-baru ini Kompas melalui tim investigasinya menguak fenomena perjokian karya ilmiah di kampus (rentang 9 - 11 Februari 2023). Beberapa perguruan tinggi ternama dijadikan sampel beserta sejumlah situs perjokian sebagai penerima jasa.

Hasil investigasi menunjukkan sisi immoral dari akademisi. Perjokian tidak ubahnya penggadaian integritas dan lelang kepakaran seorang akademisi yang mengejar promosi jabatan, kelulusan, dan guru besar. Saya pun yakin, tanpa laporan investigasi Kompas sekalipun, fenomena perjokian sudah jamak ditemukan. Bahkan, permainan algoritma isunya pun sudah jarang muncul dalam perbincangan publik.

Dalam fenomena perjokian ini, saya menemukan hal yang eksotis, yang kemudian saya sebut dengan "perburuan ilmiah". Saya teringat seorang pakar hukum Prof Salman Manggalatung (2022) yang dalam kesempatan seminar mengatakan, "Akademisi boleh salah, tapi harus jujur. Politisi boleh bohong, tapi harus benar." Dia berusaha memberikan orkestra perbandingan (comparative imagine) dengan dua variabel peran, yaitu akademisi dan politisi.

Akademisi diberi pemakluman terhadap potensi kesalahan, tapi mereka harus bersih dari kebohongan. Yang diberi pemakluman itu adalah proses akademisi membentuk suatu rumusan pengetahuan/keilmuan. Alhasil, usaha seperti eksperimen, penelitian, dan riset dalam rangka mengakumulasikan suatu pengetahuan (solusi) sangat dihargai selama dilakukan dengan kejujuran. Bagi akademisi, kesalahan hanya kegagalan praktik, sedangkan kebohongan adalah pengkhianatan peran.

Politisi sebaliknya, mereka diamini kebohongannya hanya untuk menemukan kebenaran (truth oriented). Mengapa demikian? Karena mereka berada dalam komposisi pergulatan kepentingan untuk memperjuangkan agenda kolektif masyarakat. Salah satu kali, mereka sudah pasti mencederai semua kepentingan masyarakat. Akan banyak pihak yang dirugikan. Bagi politisi, kebohongan bentuk perjuangan, sedangkan kesalahan berarti jatuh dalam pertarungan.

Dua Faktor

Dengan dasar itu, fenomena perjokian di kampus sebenarnya kembali menarasikan prinsip baru di kalangan akademisi: "boleh bohong, tapi harus ilmiah." Narasi ini menunjukkan posisi di mana akademisi terus mengejar pengakuan ilmiah dari suatu riset dan eksperimennya. Intinya, mendapat legitimasi dan memiliki efek sektoral untuk promosi kepentingan. Jalur tempuh dengan penuh kecurangan pun tidak masalah selama itu bisa mendaku "keilmiahan". Inilah mengapa saya menyebutnya dengan "perburuan ilmiah".

Saya berusaha menelaah fenomena kekinian yang sedang melanda kampus tersebut. Alhasil, ada dua faktor di mana perjokian karya di kampus lumrah terjadi dan jamak ditemukan. Pertama, kegamangan dalam memaknai pendidikan. Kita sudah jauh dari pendidikan yang berkarakter dan orientatif seperti dalam amanat konstitusi atau fatwa pendidikan Ki Hadjar Dewantara. Ini menyangkut problem personal dan kesadaran masing-masing warga kampus. Tapi pola pragmatisme telah menempatkan mereka menilai pendidikan sebagai perangkat kapitalisasi diri (human capital). Kalkulasi modal-untung pun sangat cair dan mulus di dalam kampus.

Kedua, sistem pendidikan kita menghendaki adanya kompetisi bebas yang tidak sehat. Pola yang ada mematok urusan formalisme legalitas dan masalah administrasi secara berlebih (hyper-positivism). Bayangkan, kita berada dalam daur (perputaran) sistem yang buram. Mari simulasikan. Semakin banyak guru besar, kampus makin bergengsi; semakin banyak karya dosen, cepat juga dia mendapat gelar fungsionalnya sebagai guru besar. Alhasil, komposisi pendidikan yang terbentuk makin jauh dari kompetensi yang mengarah pada sumbangsih pembangunan dan ide pembaharuan.

Seterusnya, kegandrungan sistem pendidikan yang hyper dengan praksis positivistik dapat dilihat dari kurikulum merdeka belajar. Kurikulum ini menempatkan para guru atau dosen terjebak dengan urusan administrasi. Rumitnya pelaporan kerja pegawai, e-kinerja, dan unggahan kegiatan belajar berdampak pada fokus mengajar. Akibatnya, guru atau dosen sendiri semakin gagal menghadirkan peran bagi mahasiswanya. Mereka lebih dominan sebagai pengawas dibanding menjalankan peran sebagai pendidik (Darmaningtyas, 2022).

Kedua faktor ini telah berhasil membuat "perburuan ilmiah" di kampus semakin masif. Variabel tadi sukses menggeser kerja dosen dan epistemologi pendidikan. Orientasi kerja dan pembentukan institusi pendidikan saat ini dipatok dengan kerja administrasi dan kompetensi tidak sehat. Kegandrungan menjadikan semua perangkat kampus harus ilmiah agar diakui secara legitimate tidak dapat dihindari.

Tak heran jika transaksi perjokian ilmiah kian menjamur, mengingat tawaran menggiurkan di belakangnya. Bayangkan, sejumlah kampus yang disinyalir dalam investigasi sekelas Universitas Brawijaya Malang, Universitas Negeri Padang, dan Universitas Esa Unggul (Kompas, 10/2/2023).

Untuk melawan fenomena perjokian, civitas akademik kampus saat ini harus keluar dari posisi hyper-administrative. Mereka harus berhasil menempatkan keilmiahan secara proporsional. Menjadi ilmiah secara hyper untuk kepentingan jabatan/guru besar juga tidak baik. Hal yang perlu diingat adalah mereka tidak ditugaskan untuk hal formal yang demikian, melainkan hadir dengan tugas sejarah dan tanggung jawab moral untuk pembangunan bangsa di masa depan.

Akademisi bukan politisi. Akademisi hanya boleh salah, tidak boleh bohong, apalagi kebohongan ilmiah.

A Fahrur Rozi peneliti di Distrik HTN Institute UIN Jakarta, aktivis Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci 1986)

(mmu/mmu)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT