Keketuaan ASEAN 2023 dan Peneguhan Kolaborasi Iklim

ADVERTISEMENT

Kolom

Keketuaan ASEAN 2023 dan Peneguhan Kolaborasi Iklim

Muhammad Insan Tarigan - detikNews
Kamis, 02 Mar 2023 19:52 WIB
Keketuaan ASEAN 2023 dan Peneguhan Kolaborasi Iklim
Muhammad Insan Tarigan (Foto: dok. pribadi)
Jakarta -

Topik iklim dan solusi pengurangan emisi gas di bumi masih mendapatkan perhatian khusus di hampir setiap forum internasional. Misalnya, pada 2022, Indonesia sebagai tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 berhasil menjadi tempat disepakatinya G20 Bali Leaders' Declaration 2022. Salah satu yang disepakati pada deklarasi tersebut adalah komitmen bersama memerangi perubahan iklim melalui paragraf 11 deklarasi tersebut.

Lalu, tahun 2023 ini, Indonesia sebagai Ketua ASEAN punya peluang untuk membawa isu penguatan kerja sama iklim di level Asia Tenggara. Dengan demikian, Indonesia berpeluang mengulang kesuksesan KTT G20, tidak hanya pada aspek seremonial, namun juga secara substansi ada luaran yang dihasilkan.

Kawasan ASEAN merupakan salah satu yang paling rentan terhadap dampak negatif dari perubahan iklim atas dasar beberapa hal yang relevan, misalnya jumlah penduduk negara anggota ASEAN yang hidup di pesisir pantai cukup tinggi dan sektor perikanan juga telah diterima sebagai sumber protein utama di Asia Tenggara. (OECD-FAO Agricultural Outlook 2017-2026).

Bahkan, sumber daya di laut merupakan salah satu tulang punggung ekonomi kawasan ini. Namun di sisi yang lain, perubahan iklim dengan cepat merusak kualitas laut dunia dengan meningkatkan suhu dan keasaman air serta merubah sirkulasi lautan.

Memainkan Peran Sentral

Kehilangan keanekaragaman hayati, peningkatan permukaan laut, dan gelombang panas adalah tiga efek perubahan iklim di laut yang paling dirasakan di ASEAN (Seah, S. et al, 2021). Hal tersebut berkorelasi dengan status Asia Tenggara yang merupakan salah satu kawasan yang memiliki garis pantai terpanjang, yaitu 175.000 km atau 14% dari total dunia dan ditinggali oleh sekitar 20% populasi dunia (Eileen Gallagher, 2018) .

Lalu, risiko banjir diperkirakan meningkat tiga hingga empat kali lipat akibat penurunan permukaan tanah yang terjadi di wilayah pesisir (Turley et al, 2021). Oleh karena itu, imbas peningkatan permukaan laut sangat terasa bagi negara anggota ASEAN. Khususnya Indonesia, negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia yaitu sekitar 81.000 km (KKP, 2019).

Sudah sewajarnya Indonesia memanfaatkan dan berperan aktif terhadap pembahasan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di berbagai forum internasional. Selain itu, buntut perubahan iklim seperti ocean warming dan ocean acidification berdampak langsung terhadap kerusakan ekosistem laut, seperti mangrove, terumbu karang, dan ikan. Padahal, ekosistem tersebut merupakan pendukung yang esensial bagi populasi manusia.

Mangrove dan terumbu karang tidak hanya sebagai habitat ikan, tetapi juga penting terhadap perlindungan garis pantai. Oleh karena itu, penurunan stok ikan tidak dapat dihindari akibat kerusakan pada habitatnya, yang pada akhirnya, banyak masyarakat pesisir yang kehilangan sumber mata pencahariannya.

Alih-laih sebagai pesakitan, ekosistem laut dapat menjadi penawar yang ampuh untuk mengatasi konsekuensi perubahan iklim. Berdasarkan COP26 Universities Network Briefing 2021 mengindikasikan bahwa lautan memainkan peran sentral dalam mengontrol iklim dan cuaca. Karbon biru dipercaya dapat diandalkan memitigasi perubahan iklim, khususnya mangrove. Faktanya, Asia Tenggara merupakan rumah bagi 33% dari total mangrove dunia (Herminia A. Francisco, 2018).

Sayangnya, kawasan ini juga mengalami kehilangan hutan mangrove paling luas akibat terjadi alih fungsi secara masif, seperti perluasan lahan pertambakan, sawah, dan perkebunan sawit (Maria Elisa et al, 2022). Ekosistem laut tidak hanya penting untuk kegiatan ekonomi kawasan ini, tetapi juga fundamental terhadap usaha dalam memerangi perubahan iklim, maka restorasi terhadap ekosistem pesisir pantai penting dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh negara anggota ASEAN.

Asumsi tersebut tentunya tidak terlalu berlebihan, mengingat lautan merepresentasikan sekitar 70% permukaan bumi dan dapat menyimpan lebih dari 150 kali jumlah karbon dioksida di udara. Selain itu, hutan mangrove juga lebih kuat dalam menyerap karbon dioksida dibandingkan hutan tropis (Immy Rhodes, 2022).

Butuh Mitra

Laut merupakan bagian yang tidak terpisah dan saling mempengaruhi antarkawasan maupun antarnegara. Oleh karena itu, barangkali ASEAN tidak dapat berdiri sendiri dalam upaya memerangi perubahan iklim, melainkan butuh bekerja sama dengan mitra-mitra potensial eksternal. Sejauh ini, kebijakan-kebijakan kunci untuk mewujudkan komitmen iklim tampak kurang begitu menjanjikan, khususnya terlihat dari aspek kualitas lingkungan laut yang berlanjut menurun.

Untungnya, posisi Asia Tenggara yang strategis menempatkan kawasan ini sebagai jantung Indo-Pasifik. Lalu, kepulauan Indo-Malay-Philippines merupakan habitat bagi sebagian besar keanekaragaman hayati dunia. Sehingga, sumber daya ekosistem laut di kawasan ini berpotensi membuka peluang kerja sama untuk mengurangi perubahan iklim serta memperbaiki taraf hidup jutaan orang.

Piagam ASEAN sendiri sudah menegaskan bahwa kerja sama dengan mitra perlu dikembangkan demi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat di kawasan ini. Kebetulan, Uni Eropa (UE) juga sedang meningkatkan keterlibatan strategisnya di kawasan Indo-Pasifik yang vital, terutama dalam hal mengatasi perubahan iklim dan mendukung konektivitas (State of the Union 2021).

Mayoritas penduduk ASEAN meyakini bahwa UE telah menunjukkan kepemimpinan iklim dalam mencapai komitmen internasional dan mengharapkan peran aktif mereka di kawasan ini (Eileen Gallagher, 2018). Selanjutnya, masih banyak mitra-mitra potensial lain yang sudah menunjukkan komitmennya terhadap stabilitas maritim Kawasan Indo-Pasifik, sebut saja India, Jepang, dan Amerika Serikat.

Barangkali citra Indonesia sedang baik-baiknya di mata dunia setelah berhasil mengemban Presidensi G20 2022. Sehingga, ada peluang besar untuk menghadirkan negara-negara Indo-Pasifik di berbagai forum ASEAN yang diadakan selama Keketuaan Indonesia. Selain itu, sentralitas ASEAN juga dapat mendorong kerja sama di Kawasan Indo-Pasifik terhadap isu-isu strategis, seperti ekonomi, maritim, dan perubahan iklim.

Karenanya, connectivity strategy dibutuhkan untuk menjamin perlindungan ekosistem laut sebagai upaya penguatan solusi perubahan iklim berbasis alam melalui penguatan kebijakan, regulasi, dan komitmen.

Muhammad Insan Tarigan pengajar Hukum Laut Universitas Surabaya

(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT