Rumah merupakan salah satu kebutuhan primer selain sandang dan pangan yang harus dipenuhi setiap manusia. Rumah menjadi tempat berlindung dan beristirahat yang dapat memberikan kedamaian dan ketentraman bagi penghuninya. Rumah juga memiliki berbagai fungsi yang beragam sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman seperti pada saat pandemi Covid-19 yang memaksa segala aktivitas dilakukan di rumah mulai dari tempat isolasi mandiri, tempat bekerja, tempat belajar hingga berolahraga.
Sebagai salah satu kebutuhan esensial manusia, negara memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan perumahan dan kawasan permukiman agar masyarakat dapat bertempat tinggal dan menghuni rumah yang layak dan terjangkau (adequate and affordable shelter for all) di dalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis serta berkelanjutan. Kewajiban tersebut jelas tertuang dalam UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) dan UU Nomor 11 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Berbagai fasilitas pembiayaan seperti fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP), subsidi selisih bunga (SSB), dan bantuan pembiayaan perumahan berbasis tabungan (BP2BT) telah pemerintah berikan kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sebagai bentuk dukungan kemudahan dalam mendapatkan rumah yang layak dan terjangkau. Meskipun demikian dukungan fasilitas pembiayaan tersebut masih sangat bergantung pada ketersediaan kapasitas fiskal yang terbatas.
Kebutuhan pendanaan sektor perumahan dalam RPJMN 2020-2024 diperkirakan mencapai Rp 397,9 triliun atau 6,17 persen dari total seluruh kebutuhan pendanaan infrastruktur. Sementara, kapasitas fiskal hanya mampu memenuhi kebutuhan pendanaan senilai Rp 127,2 triliun, sehingga masih terdapat finance gap senilai Rp 270,7 triliun. Di sisi lain, harga tanah yang terus meningkat dan jumlah penduduk yang terus bertambah, namun tidak diimbangi dengan pasokan perumahan yang memadai, maka Indonesia akan terus dihadapkan pada fenomena backlog perumahan.
Fenomena backlog perumahan merupakan kondisi kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan masyarakat. Backlog perumahan juga dapat diartikan sebagai kuantitas rumah yang belum/tidak tertangani. Perhitungan backlog perumahan mengacu pada konsep satu unit rumah per satu rumah tangga atau kepala keluarga.
Berdasarkan pemantauan data pada sistem https://news.detik.com//kolom/d-6597172/penyediaan-perumahan-dengan-skema-kpbu dan komunikasi perumahan dan real estate (HREIS) per 2021, jumlah backlog kepemilikan rumah tercatat mencapai 12,7 juta dan backlog kepenghunian mencapai 1,5 juta. Backlog kepemilikan dihitung berdasarkan persentase rumah tangga yang menempati rumah milik sendiri. Sementara, backlog kepenghunian mengacu pada konsep setiap keluarga yang menempati rumah, baik itu milik sendiri, sewa maupun milik kerabat.
Meskipun angkanya terus mengalami penurunan, backlog perumahan di Indonesia masih tergolong tinggi. Pembahasan backlog perumahan akan relevan jika dikaitkan dengan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang memiliki daya beli dan sewa yang rendah. Sementara, kapasitas fiskal Indonesia masih sangat terbatas untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka pemerintah dituntut untuk mencari alternatif sumber pendanaan lain agar angka backlog tidak semakin melebar dan APBN tetap sehat untuk memberikan dukungan secara berkelanjutan.
Regulasi memungkinkan pemerintah melakukan penyediaan perumahan melalui skema Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) sebagaimana ketentuan Perpres No. 38 Tahun 2015. Namun, jika menilik pada UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, Permen PUPR No. 7 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Bantuan Pembangunan Perumahan dan Penyediaan Rumah Khusus dan Permen PUPR No. 1 Tahun 2021 tentang Kriteria Masyarakat Berpenghasilan Rendah dan Persyaratan Kemudahan Pembangunan, maka yang relevan dengan substansi tulisan ini hanya berlaku pada pembangunan rumah susun umum yang diperuntukkan bagi MBR. Meskipun demikian, jenis infrastruktur di luar lingkup peraturan menteri ini dapat dikerjasamakan selama diusulkan dan mendapatkan persetujuan dari Menteri PUPR.
Sebagai salah satu kebutuhan esensial manusia, negara memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan perumahan dan kawasan permukiman agar masyarakat dapat bertempat tinggal dan menghuni rumah yang layak dan terjangkau (adequate and affordable shelter for all) di dalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis serta berkelanjutan. Kewajiban tersebut jelas tertuang dalam UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) dan UU Nomor 11 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.
Berbagai fasilitas pembiayaan seperti fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP), subsidi selisih bunga (SSB), dan bantuan pembiayaan perumahan berbasis tabungan (BP2BT) telah pemerintah berikan kepada masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sebagai bentuk dukungan kemudahan dalam mendapatkan rumah yang layak dan terjangkau. Meskipun demikian dukungan fasilitas pembiayaan tersebut masih sangat bergantung pada ketersediaan kapasitas fiskal yang terbatas.
Kebutuhan pendanaan sektor perumahan dalam RPJMN 2020-2024 diperkirakan mencapai Rp 397,9 triliun atau 6,17 persen dari total seluruh kebutuhan pendanaan infrastruktur. Sementara, kapasitas fiskal hanya mampu memenuhi kebutuhan pendanaan senilai Rp 127,2 triliun, sehingga masih terdapat finance gap senilai Rp 270,7 triliun. Di sisi lain, harga tanah yang terus meningkat dan jumlah penduduk yang terus bertambah, namun tidak diimbangi dengan pasokan perumahan yang memadai, maka Indonesia akan terus dihadapkan pada fenomena backlog perumahan.
Fenomena backlog perumahan merupakan kondisi kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan masyarakat. Backlog perumahan juga dapat diartikan sebagai kuantitas rumah yang belum/tidak tertangani. Perhitungan backlog perumahan mengacu pada konsep satu unit rumah per satu rumah tangga atau kepala keluarga.
Berdasarkan pemantauan data pada sistem https://news.detik.com//kolom/d-6597172/penyediaan-perumahan-dengan-skema-kpbu dan komunikasi perumahan dan real estate (HREIS) per 2021, jumlah backlog kepemilikan rumah tercatat mencapai 12,7 juta dan backlog kepenghunian mencapai 1,5 juta. Backlog kepemilikan dihitung berdasarkan persentase rumah tangga yang menempati rumah milik sendiri. Sementara, backlog kepenghunian mengacu pada konsep setiap keluarga yang menempati rumah, baik itu milik sendiri, sewa maupun milik kerabat.
Meskipun angkanya terus mengalami penurunan, backlog perumahan di Indonesia masih tergolong tinggi. Pembahasan backlog perumahan akan relevan jika dikaitkan dengan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang memiliki daya beli dan sewa yang rendah. Sementara, kapasitas fiskal Indonesia masih sangat terbatas untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka pemerintah dituntut untuk mencari alternatif sumber pendanaan lain agar angka backlog tidak semakin melebar dan APBN tetap sehat untuk memberikan dukungan secara berkelanjutan.
Regulasi memungkinkan pemerintah melakukan penyediaan perumahan melalui skema Kerja sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) sebagaimana ketentuan Perpres No. 38 Tahun 2015. Namun, jika menilik pada UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, Permen PUPR No. 7 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Bantuan Pembangunan Perumahan dan Penyediaan Rumah Khusus dan Permen PUPR No. 1 Tahun 2021 tentang Kriteria Masyarakat Berpenghasilan Rendah dan Persyaratan Kemudahan Pembangunan, maka yang relevan dengan substansi tulisan ini hanya berlaku pada pembangunan rumah susun umum yang diperuntukkan bagi MBR. Meskipun demikian, jenis infrastruktur di luar lingkup peraturan menteri ini dapat dikerjasamakan selama diusulkan dan mendapatkan persetujuan dari Menteri PUPR.
Lebih Efisien
Belajar dari pengalaman berbagai negara yang telah menerapkan skema KPBU perumahan lebih dulu bagi MBR seperti Malaysia, India, Tanzania hingga China, pengadaan menggunakan skema KPBU lebih efisien dibandingkan dengan pengadaan konvensional. Pasalnya dengan skema KPBU seluruh komponen layanan penyediaan infrastruktur diwujudkan dalam kontrak tunggal yang meliputi design, build, finance, operating hingga maintenance.
Kontrak layanan yang berkesinambungan tersebut akan menciptakan koordinasi yang lebih baik antara pemerintah dengan badan usaha. Selain itu, dengan skema KPBU mendorong badan usaha untuk melakukan upaya terbaik agar tidak terjadi keterlambatan konstruksi dan operasi. Sementara, jika menggunakan skema konvensional seringkali proyek mengalami keterlambatan pelaksanaan pekerjaan dan menjadi beban pemerintah (cost overrun).
Lebih lanjut, semua risiko yang terjadi pada pengadaan konvensional 100 persen ditanggung pemerintah termasuk risiko keterlambatan proyek, padahal pemerintah tidak selalu berada pada posisi terbaik untuk menanggung risiko tersebut. Hal ini berbeda jika pemerintah menggunakan skema KPBU dalam pengadaan infrastruktur. Skema KPBU memungkinkan pemerintah berbagi risiko dengan badan usaha sesuai perjanjian yang disepakati antarpihak.
Pada prinsipnya, suatu risiko akan ditanggung oleh pihak yang mampu mengendalikan risiko tersebut. Apabila pemerintah menggunakan skema KPBU dalam penyediaan infrastruktur, maka dengan alokasi anggaran yang relatif sama, pemerintah dapat menyediakan infrastruktur dengan jumlah yang relatif lebih banyak (efektivitas biaya) dibandingkan dengan pengadaan konvensional. Skema KPBU dalam pembiayaan infrastruktur mengatasi masalah pemerintah secara efisien ditengah kapasitas fiskal yang terbatas.
Tantangan Implementasi
Sebagai pemain baru skema KPBU pada sektor perumahan, pemerintah dihadapkan dengan sejumlah tantangan agar proyek rumah susun umum bagi masyarakat berpenghasilan rendah dapat berhasil diterapkan di Indonesia. Pertama, penyediaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah kemungkinan besar tidak layak secara finansial, sehingga kurang menarik minat swasta. Pemerintah perlu merumuskan bentuk dukungan yang tepat baik mulai dari penyiapan proyek hingga penjaminan risiko pemerintah agar proyek menjadi layak secara finansial.
Kedua, pemerintah dapat menggunakan skema pembayaran availability payment (AP) mengingat sasaran pengguna rumah susun umum merupakan masyarakat berpenghasilan rendah. Implementasi skema pembayaran tersebut diperlukan komitmen penanggung jawab proyek kerja sama (PJPK) untuk penganggarannya selama masa operasi berlangsung.
Ketiga, pemerintah perlu melakukan percepatan penyediaan lahan dan pemetaan lokasi pembangunan rumah susun umum yang terintegrasi dengan kawasan industri dan transportasi publik untuk memberikan kemudahan akses masyarakat terhadap layanan publik lainnya. Terakhir, pemerintah perlu melakukan terobosan dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang ramah investasi pada sektor perumahan termasuk fasilitas dukungan untuk menarik minat swasta agar berpartisipasi dalam penyediaan rumah susun umum bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Dengan adanya implementasi kebijakan skema pembiayaan KPBU sebagai alternatif pendanaan, diharapkan pemerintah dapat menyelesaikan masalah backlog perumahan tanpa bergantung pada ketersediaan kapasitas fiskal.
Muhammad Baidarus Auditor Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR