Pentahapan pemilu tahun 2024 harus tetap berjalan meskipun muncul polemik akibat Putusan PN Jakarta Pusat yang meminta agar proses pentahapan pemilu dihentikan. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahas aspek hukum terhadap putusan Pengadilan Negeri tersebut. Tetapi, tulisan ini akan membahas tentang ciri negara demokrasi dan pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) yang baik dan akuntabel. Tulisan ini di motivasi oleh kehadiran KPUD Jakarta Timur di rumah saya untuk mencocokkan daftar pemilih, Senin, 27 Februari 2023. KPUD dan saya mempunyai pandangan serupa agar pemilu tetap dilakukan secara regular sesuai jadwal, Rabu, 14 Februari 2024. Pandangan saya, ciri utama demokrasi adalah keteraturan dan stabilitas (continuity and stability), dan karenanya pemilu tidak boleh surut ke belakang apalagi terjadi penundaan. Pelaksanaan pemilu yang teratur harus tetap menjaga stabilitas dari sisi keteraturan politik (political order) dan perubahan kepemimpinan nasional secara damai.
Menurut UUD NRI Tahun 1945 dan Undang-undang Pemilu mengatur bahwa Pemilu Legislatif dan Presiden dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali. Pandangan saya, setiap ada upaya atau mewacanakan penundaan pemilu adalah sikap tidak demokratis dan bertentangan dengan prinsip regularity, continity and stability di negara demokrasi. Apalagi Indonesia adalah 3 (tiga) dari negara demokrasi terbesar didunia (the third biggest democracy in the world) setelah Amerika dan India. Karena itu nyawa dan ritme demokrasi harus berlangsung secara kontinyu dan menjaga kedewasaan politik.
Tahapan Pemilu Harus Tetap Berjalan
Tidak bisa tidak, pelaksanaan pemilu yang telah ditetapkan pada Rabu, 14 Februari 2024 harus dipersiapkan dengan matang dengan cara menutup semua lubang mata rantai retak yang dimungkinkan munculnya wacana bahkan untuk menunda pemilu. Penundaan pemilu berarti menggagalkan Indonesia sebagai negara demokrasi. Sebaliknya, pelaksanaan pemilu yang teratur akan melahirkan proses pengisian kepemimpinan politik (political oppointe) secara teratur dan damai (transfere of power by peace). Itulah yang disebut dengan pemilu sebagai instrumen untuk melakukan pengisian jabatan politik dalam negara demokrasi yang akan mengalir dari pemilihan anggota DPR RI untuk memilih Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI), 3 (tiga) Anggota Mahkamah Konstitusi (MK RI) yang menjadi kewenangan DPR RI, Gubernur Bank Indonesia dan Deputi-deputinya, begitu juga DPR akan memilih Panglima TNI dan Kapolri. Dengan demikian implikasi demokrasi yang berjalan baik akan menyehatkan ritme kenegaraan Indonesia; sebaliknya, kalau terjadi ketidakteraturan (irrigurality) didalam sistem pemilu akan mengakibatkan berhentinya sistem demokrasi yang menganggu sistem kenegaraan di Indonesia.
Ciri Pemilu Yang Berkualitas
Pemilu harus melahirkan sistem politik yang menjadikan rakyat sebagai subjek politik, artinya rakyat jangan sampai hanya menjadi instrumen politik kekuasaan belaka dalam ritme lima tahunan pemilu di Indonesia. Karena itu pelaksanaan pemilu dari waktu ke waktu harus meningkatkan kualitasnya dengan melakukan sosialisasi dan pendidikan politik (socialisation and political education) mulai dari proses sampai dengan hasil pemilu itu sendiri. Pelaksanaan pemilu yang baik harus menjawab kualitas keterwakilan rakyat yang tercermin dalam proses pemilihan dan keterwakilannya di DPR/MPR RI. Sistem pemilu ini akan melahirkan kualitas keterwakilan (the degree of representativeness), kualitas persaingan (the degree of competitiveness), dan kualitas peranannya ( the degree of function).
Selain itu, pelaksanaan pemilu harus disesuaikan dengan budaya politik sebagai upaya membangun konsolidasi demokrasi. Kualitas demokrasi di Indonesia tidak boleh dipaksakan dengan cara liberalisasi politik yang bertentangan dengan budaya politik bangsa. Karna itu, konsolidasi demokrasi harus dilakukan step by step atau gradual yang memadukan antara kultur dan struktur politik Indonesia.
Memperhatikan syarat pelaksanaan pemilu yang baik diatas, berarti rakyat harus menggunakan hak pilihnya secara demokratis tanpa ada tekanan dengan menjunjung tinggi pemilu yang Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil (Luber-Jurdil) tanpa melakukan penggumpalan-penggumpalan segregrasi sosial politik atas dasar etnisitas, religiusitas, and culturitas. Karena itu pemilu yang baik adalah tidak menonjolkan politik identitas (political identity) dinegara yang demokratis-plural seperti Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Pelaksanaan politik ini adalah berarti menarik satu nafas Nasionalitas and Religiusitas, sehingga tidak terjadi konflik didalam masyarakat.
Selain itu, pemilu yang baik adalah yang menghargai adanya perbedaan, karena memang manusia secara fitrahnya diciptakan secara berbeda-beda baik secara suku, bahasa, dan budaya. Setiap warga negara Indonesia memiliki kesamaan didepan hukum, pemerintahan dan politik. Perbedaan sebaiknya hanya pada tahap proses, yang berarti jika sudah melahirkan hasil pemilu dan keputusan-keputusan politik lainnya, maka semua partai politik dan warga negara harus menerimanya. Itulah wujud kedewasaan politik atau kematangan politik yang harus dilahirkan didalam setiap pelaksanaan pemilu di Indonesia.
Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan oleh KPU RI diantaranya adalah; pertama, terus menerus melakukan sosialisasi dan edukasi politik mulai dari pantarlih sampai dengan pencoblosan yang selalu melakukan monitoring dan evaluasi setiap tahapan pelaksanaan pemilu. KPU RI dan Bawaslu harus menempatkan diri sebagai instrumen pemilu yang netral dan tidak menjadi alat dari Calon Legislatif, salah satu partai politik atau salah satu dari pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden.
Kedua, pemerintah yang di cerminkan oleh Presiden sebagai Kepala Negara dan para Menterinya yang berkaitan dengan pelaksanaan pemilu, seperti Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Panglima TNI dan Kapolri harus menjadi negarawan. Jadi, pemerintah tidak boleh menjadi instrumen politik dari Calon Legislatif, partai politik manapun, atau salah satu dari pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden.
Ketiga, pelaksaan pemilu harus didorong tidak menggunakan money politic sebagai proses untuk meningkatkan elektabilitas, akseptabilitas, dan likebilitas seperti yang terjadi dewasa ini. Strategi dengan pendekatan menebar hujan uang dikantong-kantong pemilih merupakan pendekatan politik yang tidak mencerminkan kedewasaan berpolitik. Dalam proses ini Bawaslu dan masyarakat luas harus melakukan pengawan politik dan Aparat Penegak Hukum betul-betul berani menjatuhkan sangsi yang keras terhadap partai politik dan calon legislatif, dan pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang melakukan money politic.
Keempat, lebih dari itu yang harus menjadi dasar seseorang memilih adalah menjadikan track record dan visi misi dari masing-masing calon legislatif dan pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Kriterianya, apakah track recordnya sudah sesuai dengan prinsip-prinsip pluralisme sesuai dengan Pancasila; atau justru mengedepankan politik identitas yang bisa melahirkan konflik sosial. Apakah visi-misinya sesuai dengan aspirasi rakyat, atau memaksakan yang tidak sesuai dengan tuntutan rakyat.
Jelaslah, sosialisasi dan pendidikan politik rakyat dalam proses pemilu akan melahirkan sikap kedewasaan politik yang menjadikan warga negara sebagai subjek politik untuk menjaga keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Karenanya, politik identitas jangan dijadikan komodite oleh Calon Legislatif, Partai Politik atau pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden. Memang ini langkah terjal untuk membangun Indonesia sebagai negara demokrasi yang matang, namun harus tetap diupayakan terus-menerus. Cukup menantang bukan? (*)
Ali Masykur Musa
Penulis adalah Ketua Umum PP ISNU