Sejak mencuat aksi brutal Mario Dandy anak mantan pejabat Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo (RAT), publik dunia maya atau netizen dibuat geram. Apalagi seakan Polres Jakarta Selatan saat itu tidak gerak cepat (gercep), dan muncul kesan poco-poco. Keadaan ini memicu netizen ramai-ramai mem-posting pembelaan terhadap David yang menjadi korban kekerasan Mario. Sudah tepat kini Polda Metro DKI Jakarta mengambil kasus ini dari Polres Jakarta Selatan.
Netizen memiliki caranya sendiri mencarikan keadilan buat David. Berbagai postingan netizen menguliti berbagai aksi arogan Mario Dandy bermotor di jalanan ibu kota hingga menjadi detektif partikelir menginvestigasi berbagai kekayaan dan aksi flexing keluarga RAT. "Aksi massa" di media sosial ini makin berkembang, netizen makin menemukan banyak aksi flexing para pejabat di Ditjen Pajak, dan berlanjut ke Bea Cukai.
Menyadari situasi yang berkembang bergeser menjadi urusan publik, Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan dengan cepat memberikan respons. Tentu Bu Menteri tidak menginginkan situasi kian kontraproduktif buat citra dan merusak kinerja Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Ia mencopot RAT, dan meminta klub moge di Ditjen Pajak dibubarkan, bahkan serangkaian pemberian hukuman kepada ratusan pelaku fraud di Kemenkeu. Namun serangkaian tindakan ini seolah belum memuaskan netizen.
Pernyataan menolak membayar pajak mulai dikumandangkan oleh beberapa pihak. Kita patut khawatir bila aksi ini membesar, dan tidak boleh membesar, sebab amat membahayakan kelangsungan penyelenggaraan negara dan pembangunan. Sebagai gambaran, penerimaan pajak dan cukai pada tahun 2019 menyumbang 77% dari total pendapatan negara.
Pada masa pandemi COVID-19 tahun 2020, pajak dan bea cukai masih menyumbang 78% pendapatan negara, dan tahun 2021 mencapai 77%. Tahun lalu penerimaan pajak tembus 115,6% dari target, sedangkan bea dan cukai mencapai 106,3%, sehingga pajak dan cukai menyumbang 100,3% dari total pendapatan negara. Negara bisa runyam bila pendapatan pajak drop karena aksi tolak bayar pajak.
Kita patut bangga dan terharu atas cintanya netizen pada negara ini. Harus kita maknai kontrol netizen melalui jagad maya ingin penyelenggara negara semakin baik, sehingga negara menjadi baik. Sebagaimana rakyat pada umumnya, derajat kematangan netizen juga beragam. Sebagian yang menghendaki menolak membayar pajak barangkali saking emosionalnya, karenanya perlu diteduhkan gejolak hatinya, diajak bernalar kembali dengan jernih.
Netizen kategori ini seperti pemeran Si Unyil, meski bertahun-tahun serial ini ditayangkan, sosok Si Unyil tidak tumbuh besar. Unyil dalam serial Si Unyil tetap saja anak-anak, tidak tumbuh menjadi remaja apalagi dewasa. Meski tidak tumbuh dewasa, namun pada dasarnya Si Unyil adalah anak dengan kepribadian yang baik. Cuma belum memiliki artikulasi yang dewasa, layaknya kepribadian orang dewasa.
Lain lagi dengan sosok Pak Raden pada serial Si Unyil. Kita perlu nasihat-nasihat bijak seperti Pak Raden. Wawasan Pak Raden yang luas bagaikan samudera ilmu dan jagad maya perlu sosok Pak Raden. Namun netizen juga harus paham kelakukan Pak Raden. Di balik sosoknya yang bijak dan berpengetahuan luas, mentalitas sakit encok Pak Raden ini jangan ditiru. Di balik nasihat-nasihat bijaknya, giliran diajak bekerja menjalankan petuah-petuahnya, Pak Raden ini sering tiba-tiba sakit encok. Sakit encok menjadi jurus ampuh Pak Raden untuk mlipir.
Namun netizen juga harus paham, usaha-usaha besar netizen membuat berbagai gelombang perubahan kita apresiasi sehebat-hebatnya. Mereka menjadi watchdog yang tulus. Kita berharap ketulusan netizen ini tidak ditunggangi Pak Ogah. Pak Ogah ini sangat pandai berselancar, memanfaatkan momentum dan peluang untuk kepentingan pribadinya.
Pak Ogah bisa menempatkan diri sebagai "barisan massa", bersuara sama, menyuarakan kebenaran massa. Di saat yang bersamaan, karena suaranya, dia mendapatkan keuntungan materi. Suaranya tidak tulus, suaranya adalah hasil transaksi. Tidak ada yang gratis di depan Pak Ogah, sekalipun untuk kebaikan bersama. Cepek dulu dong Den, sangat lekat di ingatan kita, terutama generasi baby boomers.
Kita berharap gerakan netizen terus menjadi artikulasi yang menyehatkan negara. Menjadi pupuk yang menyemaikan bibit-bibit baru penyelenggara negara yang baik. Sebab di sanalah tiang pancang negara ditegakkan. Mengutip karya AA Navis, kita tidak ingin surau kami bernama Indonesia, sebagai tempat kumpulan ibadah, tiba-tiba berubah menjadi tempat bermain anak-anak karena tiada yang merawat surau itu sebagaimana fungsinya.
Kita tidak ingin pajak kita roboh, karena ulah Pak Raden dan Pak Ogah. Kita berharap Si Unyil sebagai penerus menjelma menjadi sosok yang kian dewasa. Akhiri semua pernyataan untuk menolak membayar pajak. Apakah sanggup jika maling berkeliaran, rampok berkeliaran, lalu polisi ogah menangkapnya karena tiada ongkos penyelenggaraan ketertiban sosial?
Apakah sanggup menghadapi kenyataan tiba-tiba ada bencana, lalu negara diam saja, membiarkan rakyatnya nestapa karena tiada ongkos pada APBN? Apakah sanggup tiba-tiba tiada subsidi BBM, beras, listrik, layanan berobat, dan lain-lain dihentikan karena negara tidak ada anggarannya?
Pikir dengan matang, jangan terbawa buaian Pak Raden dan Pak Ogah. Kita beri kesempatan Sri Mulyani bersih-bersih ke dalam, menjewer anak-anaknya. Kita butuh menguatkannya, jangan biarkan dia sendiri. Sosoknya sebagai seorang Ibu di Kemenkeu sesungguhnya sangat disegani.
MH Said Abdullah, Ketua Badan Anggaran DPR
(ncm/ega)