Sesat Pikir Putusan Penundaan Pemilu

ADVERTISEMENT

Kolom

Sesat Pikir Putusan Penundaan Pemilu

Andi Saputra - detikNews
Senin, 06 Mar 2023 11:23 WIB
andi saputra
Andi Saputra (Foto: dok. pribadi)
Jakarta -

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) menyetop tahapan pemilu sangat mengejutkan rakyat Indonesia. Apalagi PN Jakpus memerintahkan agar KPU RI memulai tahapan pemilu dari nol lagi dengan tenggat waktu maksimal 2 tahun 4 bulan 7 hari ke depan.

Banyak catatan yang bisa didapat dari putusan tersebut. Selain tidak memiliki kewenangan, PN Jakpus juga menggunakan logika kesimpulan yang meloncat. Sangat tidak tepat memutuskan penundaan pemilu hanya karena (seandainya pun benar) maladminstrasi tahapan pemilu yang dialami satu partai.

Namun, ada pertanyaan yang lebih jauh atas putusan tersebut, yaitu ada apa dengan kualitas hakim kita?

Pertama, putusan tersebut menunjukkan rendahnya pemahaman hakim atas konsep hukum ketatanegaraan Indonesia secara utuh. Hakim memahami hukum hanya secara parsial dan tidak holistik. Hakim gagal memahami konsep Pancasila dan UUD 1945 sebagai sumber dari segala sumber hukum. Alhasil, semangat kebangsaan hakim patut dipertanyakan. Apakah ada maksud tersembunyi dengan meminta menunda agenda lima tahunan pemilu?

Di mata hakim, sengketa hanya dipandang secara sempit yaitu sebagai konsep hukum perdata tradisional berupa Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum. Padahal, sudah terjadi pemutakhiran berbagai sengketa dalam praktik yaitu negara telah membuat kanal-kanal penyelesaian sengketa. Termasuk hadirnya lembaga-lembaga di luar pengadilan negeri beserta kewenangannya.

Kedua, menjadi hakim PN Jakpus bukanlah hal mudah. Minimal sudah berkarier 20 tahun lebih dengan masa tugas di berbagai pengadilan di Indonesia. Sebab, PN Jakpus menjadi teras hukum Indonesia di mata internasional karena PN Jakpus menjadi tempat sengketa bisnis internasional di Indonesia hingga menguji pemberlakuan arbitrase internasional.

Dengan logika di atas, maka patut dianggap hakim yang membuat putusan penundaan pemilu adalah hakim senior dengan sadar atas setiap kata yang diputuskan. Alhasil, cukup wajar masyarakat mempertanyakan kualitas putusan a quo. Mengapa majelis hakim bisa sesat pikir memerintahkan KPU menunda pemilu yang bukan wilayah kewenangannya.

Ketiga, keajaiban putusan PN Jakpus membuka kotak pandora dan cermin banyak putusan di Indonesia di luar nalar hukum. Bahkan pengadilan Indonesia saat ini masih di bawah bayang-bayang dua Hakim Agung yang menjadi tersangka korupsi, satu di antaranya sedang diadili. Bahkan jumlah ini masih bisa bertambah.

Keempat, sikap hakim dalam memutus perkara bisa jadi adalah buah dari konsep independensi hakim yang kebablasan. Hakim bisa bebas-sebebasnya memutus. Tidak hanya ultra petita, tapi juga memutus dari kewenangannya.

Sayangnya, independensi hakim juga kerap ditunggangi oleh oknum hakim untuk berbuat korupsi. Tidak heran bila kriminolog Prof Ronny Nitibaskara menyebut putusan bisa menjadi alat kejahatan paling sempurna. Maka tidak salah bila pada Laporan Tahunan Mahkamah Agung (MA), Presiden Joko Widodo mengingatkan agar MA dan pengadilan di bawahnya harus dan sudah saatnya membuat putusan yang berkualitas.

Jadi, apa yang harus dilakukan?

Hukum acara perdata memberikan upaya hukum banding atas putusan PN Jakpus. Namun masalahnya tidak sesederhana itu. Sebab ada masalah yang lebih besar yang harus dijawab yaitu kualitas hakim kita.

Pendidikan hakim di bawah otoritas MA harus dirombak. MA harusnya bisa menempa kualitas hakim layaknya dewa. Setelah selesai pendidikan dan menjadi hakim, lalu diawasi dan dibina MA secara ketat.

Masalah lain muncul bila yang 'nakal' adalah level Hakim Agung, siapa yang berani mengawasi? Sehingga cukup mengejutkan KPK harus turun tangan memeriksa dan menangkap sejumlah Hakim Agung.Melihat fakta belakangan ini, jangan-jangan, memang ada kesalahan dalam konsep sistem satu atap yudikatif di bawah otoritas mutlak MA. Suara agar Komisi Yudisial (KY) diberdayakan maksimal ada benarnya. Sudah saatnya meniup peluit konsep independensi yang melewati batas.

Terakhir dan yang susah dalam mewujudkan putusan berkualitas adalah dengan mencari hakim-hakim yang tidak hanya berilmu, tapi yang terpenting berakhlak dan berintegritas. Hal itu bisa dimulai dari pimpinan MA membuka LHKPN, tanpa terkecuali. Di sisi lain juga diimbangi dengan gaya hidup sederhana pimpinan MA sehingga menjadi tauladan hakim-hakim di bawahnya.

Pucuk pimpinan harus berani, tega, dan tegas dalam membina hakim, termasuk bila yang melakukan kesalahan adalah anaknya sendiri atau teman satu meja dalam rapat. Bila tidak, maka MA terus terjerembab dalam kubangan kesalahan.

Andi Saputra, S.H, M.H advokat

(mmu/mmu)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT