Caleg Perempuan Mewakili Siapa?

ADVERTISEMENT

Kolom

Caleg Perempuan Mewakili Siapa?

Muliaty Mastura Yusuf - detikNews
Rabu, 08 Mar 2023 11:46 WIB
Ilustrasi Pemilu
Ilustrasi: Fuad Hasim
Jakarta -

Mengapa perempuan mengincar kursi parlemen? Apakah hanya untuk memenuhi kuota calon legislatif (caleg) 30 persen? Apakah hanya karena diminta oleh suami menempati posisi keren itu karena sang suami telah terpilih menjadi bupati atau gubernur? Apakah demi melanjutkan dinasti? Apakah sekadar prestise? Perempuan di parlemen, sebenarnya berjuang untuk kepentingan siapa?

Seabrek pertanyaan di atas menggelisahkan saya selaku perempuan, juga sebagai perempuan yang terlibat di partai politik (parpol) yang notabene pernah merasakan pahit getirnya menjadi caleg di DPRD Provinsi Sulawesi Selatan Daerah Pemilihan (Dapil) IV (Kabupaten Jeneponto, Bantaeng, dan Selayar) pada Pemilu Legislatif 2014.

Kegelisahan saya lebih menyeruak lagi ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan Peraturan No.6 Tahun 2023 tentang Daerah Pemilihan dan Alokasi Kursi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Peraturan tersebut dikeluarkan pada 6 Februari 2023 ditandatangani Ketua KPU Hasyim Asy'ari.

Keluarnya aturan itu menjadi alarm para caleg untuk siap-siap melangkah, berjuang mencari simpati, mengetuk pintu hati dari rumah ke rumah atau melalui channel media sosial. Mereka mewacanakan maksud baiknya menjadi caleg untuk memperjuangkan kepentingan rakyat di atas kepentingan diri dan kelompoknya; mereka dengan lantang berteriak akan membela kebenaran dan keadilan.

Undang-Undang Pemilu kita telah mensyaratkan kepada parpol untuk mengakomodasi 30 persen keterwakilan caleg perempuan. Pasal 65 ayat (1) UU No.12 tahun 2003 menyebutkan, "Setiap pertai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen."

Tanpa regulasi tersebut, minat perempuan terjun ke dunia politik dan mengincar kursi parlemen tidak sekencang saat ini. Hal ini dapat kita tengok dari perjalanan pemilu ke pemilu. Kita dapat melihat berapa jumlah perempuan yang mengikuti kontestasi politik dari semua partai yang ada. Jumlahnya tentu tidak signifikan dibanding setelah adanya regulasi pemenuhan kuota 30 persen perempuan yang seolah-olah menjadi ancaman bagi partai, jika tidak mengindahkan aturan itu.

Maka bergeraklah pengurus partai mencari perempuan yang mau jadi caleg. Langkah ini dilakukan parpol karena pengurus partai yang berkelamin perempuan masih minim atau hanya dapat dihitung jari dibanding dengan laki-laki. Kehadiran mereka semata memenuhi kuota tanpa bekal pendidikan politik atau pengalaman menjadi pengurus partai.

Sebagian dari caleg yang notabene tidak memiliki kualitas dan kapabilitas, bisa kita sebut caleg serba instan, memenuhi panggung politik dan bersaing dengan ratusan caleg berebut kursi parlemen. Mereka adalah adalah anak, istri, suami, menantu, saudara, tante, om dari seseorang yang sedang memegang kendali kuasa; seolah-olah berjalan di atas jalan tol tanpa hambatan. Apalagi bila didukung dengan bujet yang aduhai, tentu dengan mulus dapat lolos ke parlemen.

Krisis Identitas dan Kekeliruan Rekrutmen

Perempuan dengan identitas yang dimiliki, saat melakukan sosialisasi ke masyarakat, mereka menyuarakan pentingnya pendidikan politik bagi kaumnya. Bahwa perempuan harus memilih perempuan, sebab hanya perempuan yang lebih care memahami persoalan ibu-ibu dan anak. Hanya perempuan yang empati dengan persoalan stunting, kesehatan reproduksi, kekerasan seksual, pelecehan seksual, tentang perdagangan orang, soal kekerasan dalam rumah tangga, dan masalah tenaga kerja perempuan.

Hal ini menjadi menu utama setiap pemilu digelar. Namun, ketika telah lolos di parlemen, sukses menjadi legislator, isu-isu tersebut tidak menjadi jaminan akan diperjuangkan sepenuhnya. Mengapa demikian? Bisa jadi, keterwakilan mereka di parlemen tidak spesifik mengurus soal isu-isu strategis yang diwacanakan ketika menjadi caleg.

Buktinya, ketika kasus penculikan anak menyeruak, ratusan siswa Ponorogo hamil di luar nikah, kasus dispensasi nikah di Kediri yang jumlahnya amat spektakuler mencapai 569 orang, nyaris tidak kedengaran sikap kritis dari para legislator perempuan kita.

Maka lebih tepat hemat saya, untuk masalah perempuan dan anak dilakoni penuh oleh aktivis perempuan yang bergerak di NGO dan LSM-LSM lainnya. Mereka bergerak dan benar-benar memperjuangkan secara riil di lapangan, bukan sekadar lipstik.

Bila demikian adanya, maka identitas-identitas jualan perempuan tersebut perlu dikoreksi, apakah sudah tepat sasaran atau bagaimana. Sejatinya, tidak perlu ada jualan khusus yang selalu didongengkan caleg perempuan pada saat sosialisasi. Karena pada intinya, semua akan bermuara pada perjuangan kepentingan rakyat dalam semua bidang kerja ketika terpilih.

Adapun kekeliruan rekrutmen caleg, terkait dengan pola bermain parpol yang tidak selektif. Rekrutmen caleg perempuan sekadar memenuhi kuota saja, bukan untuk menyiapkan mereka dipilih dan terpilih. Padahal, menjadi legislator adalah cermin dari representasi masyarakat yang memilihnya.

Parpol yang baik ketika dapat melahirkan legislator yang baik pula dan memberikan pendidikan politik kepada konstituennya secara berkesinambungan. Begitu pula dengan eksistensi perempuan di parlemen menjadi model bagi gerakan perubahan yang senantiasa menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan.

Sebaliknya, bila kehadiran perempuan di parlemen tidak berjuang untuk siapa-siapa, hanya mengedepankan kepentingan dirinya saja, atau malah eksistensinya hanya merusak nama partai, komunitas perempuan dan rakyat yang diwakilinya, maka kesalahan ada pada sistem rekrutmen caleg. Karenanya, sistem rekrutmen caleg, selain melihat kompetensinya, juga melihat moral dan attitude-nya. Bukan sekadar menutupi ketentuan 30 persen dengan orang-orang yang tidak kredibel.

Muliaty Mastura Yusuf, M.Pd.I Wakil Sekretaris Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Sulawesi Selatan

Simak juga 'Jokowi Bicara soal Putusan PN Jakpus Tunda Pemilu':

[Gambas:Video 20detik]



(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT