Meninjau Usulan Perluasan Kodam

ADVERTISEMENT

Kolom

Meninjau Usulan Perluasan Kodam

Andi Muhammad Rezaldy - detikNews
Rabu, 08 Mar 2023 15:10 WIB
andy rezaldy
Andi Muhammad Rezaldy (Foto: dok. pribadi)
Jakarta -

Institusi Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi sorotan setelah adanya wacana pembangunan Komando Daerah Militer (Kodam) di Indonesia yang semula berjumlah 15 menjadi ada di tiap provinsi. Usulan ini dikemukakan oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jendral Dudung Abdurachman yang diklaim telah mendapatkan persetujuan dari Panglima TNI Laksamana Yudo Margono.

Menurut Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, wacana tersebut dijadikan sebagai rencana garis besar pemerintah, dikarenakan sistem pertahanan kita menganut sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta. Sebuah sistem pertahanan yang melibatkan seluruh rakyat dan sumber daya yang ada dalam menjaga pertahanan dari adanya ancaman.

Wacana pembangunan Kodam di tiap provinsi menunjukkan TNI dan pemerintah sedang berada di luar jalur reformasi militer. Sebab, dengan adanya Kodam di tiap provinsi berpotensi menimbulkan berbagai persoalan antara lain bertentangan dengan hukum, menguatnya militerisme, membebani anggaran negara, hingga membuka ruang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.

Pertama, struktur Kodam yang serupa dengan struktur administrasi pemerintahan, sesungguhnya bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Sebab, menurut penjelasan pasal tersebut, dalam pelaksanaan penggelaran kekuatan TNI, harus dihindari bentuk-bentuk organisasi yang dapat menjadi peluang bagi kepentingan politik praktis dan penggelarannya tidak selalu mengikuti struktur administrasi pemerintahan.

Dengan kata lain, pasal tersebut mendorong kepada negara untuk berupaya melakukan restrukturisasi komando territorial. Upaya ini dilakukan agar prajurit TNI tidak disalahgunakan untuk kepentingan politik terutama dalam proses pemilihan umum. Mengingat selama era Orde Baru, komando teritorial menjadi perpanjangan tangan pemerintah yang didominasi dalam bidang urusan sosial politik.

Dalam konteks politik, pada masa Orde Baru, komando teritorial dari tingkat Kodam hingga Koramil terlibat politik praktis dengan melakukan penggalangan kekuatan untuk kepentingan pemilihan umum. Selain itu, prajurit TNI juga dijadikan sebagai alat represi pemerintah kepada setiap orang yang berpotensi mengganggu stabilitas politik dan keamanan.

Didasari pada pengalaman kelam di masa lalu, maka pada masa reformasi doktrin dwi fungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) atau peran sosial politik militer dalam pemerintahan dihapuskan dengan diberlakukannya TAP MPR Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI/Polri dan TAP MPR Nomor 7 Tahun 2000 tentang Peran TNI/Polri. Seharusnya langkah tersebut juga diikuti dengan melakukan restrukturisasi atau bahkan penghapusan komando teritorial, karena sudah tidak memiliki relevansinya lagi.

Kedua, persoalan lain yang akan timbul akibat dibangunnya komando teritorial di tiap provinsi ialah menguatnya cengkeraman militerisme. Komando teritorial yang memiliki kecenderungan membayangi kewenangan pemerintahan sipil dapat berdampak pada keterlibatan prajurit TNI dalam urusan-urusan sipil.

Sebetulnya fenomena tersebut sudah mulai tampak dari berbagai sikap dan tindakan komando teritorial belakangan ini. Antara lain pada 2017, Kodam Iskandar Muda menjalankan program perluasan cetak sawah dan pembukaan jalan. Lalu pada 2020, Kodam Jayakarta mengerahkan sekitar 6000 prajurit TNI dalam rangka mengamankan demonstrasi buruh dan mahasiswa yang menolak omnibus law cipta kerja.

Kondisi seperti ini jelas kontradiktif dengan prinsip negara demokrasi dan agenda reformasi, yang mencita-citakan prajurit TNI menjadi prajurit yang profesional juga tidak ikut campur dalam urusan sipil. Di sisi lain situasi tersebut juga dapat memunculkan ketegangan hubungan antara sipil dan militer karena menyampingkan tenaga sipil yang kompeten di bidangnya. Padahal guna menjaga hubungan sipil-militer yang kondusif, militer diharuskan menghormati kewenangan sipil.

Oleh karena itu, sebaiknya, institusi TNI sebagai alat pertahanan negara memfokuskan diri dalam menjalankan kebijakan pertahanan negara. Tentunya, dengan tidak mengesampingkan tugas pokok dan fungsinya yaitu untuk melindungi keselamatan bangsa dari adanya potensi ancaman eksternal serta menegakkan kedaulatan negara.

Ketiga, pembangunan kodam baru berpotensi membebani anggaran negara. Menurut anggota Komisi I DPR Dave Laksono, pembangunan komando teritorial membutuhkan anggaran yang cukup besar. Dikarenakan membutuhkan biaya pembangunan untuk gedung, persiapan operasional dan personelnya.

Di tengah masa pemulihan ekonomi atas dampak pandemi Covid-19 dan isu resesi ekonomi global, tidak bijak jika anggaran negara diberatkan dengan kebijakan yang tidak ada urgensinya. Bila kebijakan semacam ini dipaksakan, maka yang akan merasakan akibatnya ialah masyarakat.

Bisa jadi anggaran pendidikan atau jaminan perlindungan sosial yang seharusnya dinikmati oleh masyarakat luas menjadi dikurangi secara kualitas maupun kuantitasnya, demi ambisi proyek perluasan komando teritorial. Oleh sebab itu, menjadi tidak tepat dan berlebihan apabila nantinya kebijakan tersebut tetap direalisasikan.

Keempat, hadirnya komando territorial di tengah-tengah masyarakat dapat membuka ruang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Adanya fakta yang menunjukkan prajurit TNI ikut campur dalam masalah domestik, membuka kemungkinan bagi militer menggunakan pendekatan keamanan dalam menyelesaikan masalah. Hal tersebut sangat mungkin dapat terjadi, karena seorang prajurit dididik guna berperang bukan untuk mengatasi persoalan domestik.

Watak militer yang memiliki karakteristik mengedepankan pendekatan keamanan dalam menangani masalah, sudah tentu akan ada kecenderungan mengarah pada adanya pelanggaran hak asasi manusia. Pada tahun lalu misalnya, dalam Tragedi Kanjuruhan, prajurit TNI didapati melakukan tindak kekerasan terhadap para suporter ketika melakukan pengamanan pertandingan sepakbola.

Lalu contoh lainnya yaitu konflik kekerasan di Papua. Membangun pos-pos keamanan dan mengerahkan prajurit dengan skala besar tidak serta merta konflik tersebut dapat diselesaikan. Justru yang terjadi sebaliknya, menggunakan pendekatan keamanan menghasilkan masalah baru yakni peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang terus terjadi dari tahun ke tahun.

Mendasari pada adanya berbagai potensi masalah yang dapat timbul akibat kebijakan perluasan komando teritorial, sudah sepatutnya Kementerian Pertahanan mengurungkan wacana tersebut. Lalu, DPR sebagai salah satu lembaga otoritas sipil diharapkan dapat berperan aktif untuk mempersoalkan rencana kebijakan pertahanan yang tidak ada urgensinya dan dapat merugikan masyarakat.

Hal tersebut penting dilakukan agar dapat memastikan agenda reformasi militer masih berjalan sesuai dengan jalurnya. Sehingga amanat dan tuntutan reformasi pada 1998, yang menghendaki adanya institusi TNI yang profesional, dengan tidak berpolitik, tidak berbisnis dan tidak melakukan pelanggaran hak asasi manusia dapat terwujud sebagaimana mestinya.

Andi Muhammad Rezaldy Kepala Advokasi Hak Asasi Manusia di Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT