Beberapa hari terakhir, isu seputar transportasi di Jakarta kembali mengemuka. Detikcom beberapa kali menayangkan pemberitaan tentang hal ini. Pascapandemi, publik merasakan kini jalanan kota Jakarta kembali macet dan terasa makin parah. Padahal saat pemberlakuan PPKM dan Work from Home (WFH) beberapa waktu lalu, jalanan Jakarta sempat lengang, kebisingan dan polusi udara dapat dikurangi.
Data Polda Metro Jaya menyebutkan pada kuartal pertama 2022 tingkat kemacetan di Jakarta mencapai sekitar 48 persen. Data lain juga menyebut kerugian yang ditimbulkan oleh macet konon mencapai Rp 71 triliun. Hal itu terkait dengan penggunaan BBM dan faktor lainnya. Belum lagi jika ditelisik dari aspek kesehatan masyarakat, seperti meningkatnya stres, depresi, dan kecemasan.
Sedangkan Tomtom Traffic Index menyebut, saat ini rata-rata waktu tempuh untuk perjalanan per 10 kilometer di DKI mencapai 22 menit 40 detik. Dan, sebagai kota metropolitan, Jakarta masuk sebagai kota paling macet di dunia nomor 29. Sebelumnya, lembaga ini juga merilis waktu-waktu kemacetan di Jakarta. Waktu paling macet adalah Senin dan Jumat pada pukul 17.00 (67 persen). Pada Senin pukul 08.00 WIB, angka kemacetan sebesar 43 persen. Dan, pada Selasa-Kamis pukul 17.00 sebesar 62-64 persen dan pada pukul 18.00 sebesar 62-55 persen.
Kemacetan terjadi karena volume kendaraan tidak sebanding dengan ruas jalan yang tersedia. Data Korlantas Polri, jumlah kendaraan bermotor yang ada di Jakarta mencapai 22.091.244 unit. Hampir 80 persen adalah sepeda motor 17.621.463 unit. Jumlah mobil sebanyak 3.618.644 unit, mobil barang 752.876 unit, bus 16.388 unit, dan kendaraan khusus 14.961 unit. Hal itu berarti pengendara motor menjadi "penguasa" di jalanan.
Dari berbagai kajian, selain karena rasio jalan dan kendaraan yang timpang, kemacetan juga dipicu karena minimnya area parkir di perkantoran atau instansi lainnya. Selain itu, tata ruang dan tata kota yang kurang memperhatikan infrastruktur jalan juga berpengaruh terjadinya macet. Di sisi lain, pembangunan proyek infrastruktur di beberapa titik juga menjadi penyebab utama. Di samping itu, faktor kedisiplinan pengguna jalan juga menjadi pemicu kemacetan yang parah. Misalnya pengendara motor yang masuk ke jalur Transjakarta, angkot yang ngetem sembarangan, kendaraan yang melewati trotoar, dan pelanggaran terhadap rambu-rambu lalu lintas.
Mengatasi Kemacetan
Perihal kemacetan ini, sejatinya Pemprov Jakarta sudah melakukan berbagai upaya. Dulu pernah ada kebijakan three in one, sekarang ini kebijakan ganjil genap. Meskipun, beberapa kajian menyebutkan penerapan ganjil genap belum signifikan menurunkan kemacetan. Beberapa waktu lalu, juga ada wacana penerapan jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP).
ERP di Jakarta rencananya berlaku setiap hari mulai pukul 05.00 hingga 22.00 WIB di 25 ruas jalan Ibu Kota sepanjang 54 kilometer. Tarif yang diusulkan berkisar antara Rp 5 ribu hingga Rp 19 ribu. Namun wacana ini memicu berbagai unjuk rasa, khususnya dari kalangan pengemudi ojek online (ojol). Sehingga, uji coba penerapan ERP masih dalam proses persiapan menunggu dibahasnya Perda tentang Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik bersama DPRD DKI Jakarta.
Selain itu, kita juga perlu mengapresiasi langkah yang dilakukan oleh Dinas Perhubungan DKI Jakarta yang akan menggunakan teknologi artificial intelligence (AI) untuk mengurai kemacetan. Melalui kerja sama dengan Google, Pemprov DKI Jakarta akan menggunakan teknologi AI untuk menganalisis volume lalu lintas di persimpangan. Uji coba akan dilakukan di 5 simpang yakni di Jalan Imam Bonjol, Jalan Diponegoro, Jalan Proklamasi, Jalan Pramuka, dan Jalan Pemuda. Sebuah langkah cerdas dan kekinian.
Secara spesifik, algoritma AI digunakan untuk menentukan lokasi akurat perpindahan kendaraan. Kemudian mengidentifikasi dan memetakan layanan-layanan transportasi, termasuk transportasi publik. Sehingga Pemprov DKI bisa menentukan lokasi-lokasi yang sangat akurat untuk kemudian mengoperasikan transportasi massal, maupun kebijakan pengaturan kendaraan lainnya. Dengan analisis big data, kita bisa mengidentifikasi titik-titik di Jabodetabek yang meliputi penumpukan kendaraan, pergerakan manusia, hingga kecepatan kendaraan, termasuk lengkap dengan data waktu yang real time.
Harapan Publik
Publik tentu berharap masalah klasik terkait kemacetan itu bisa teratasi. Selain itu, warga Jakarta juga berharap menikmati layanan transportasi publik yang makin nyaman, aman, dan terintegrasi, sehingga memberi kemudahan dalam mobilitas. Ada beberapa catatan yang layak dijadikan bahan pertimbangan terkait transportasi publik di Jakarta.
Pertama, perlunya perubahan paradigma dari car oriented development menjadi transit oriented development (TOD) sesuai spirit smart city. Sebuah paradigma yang menciptakan mobilitas berkelanjutan melalui sistem transportasi terintegrasi. Perubahan paradigma di sektor transportasi, dengan memprioritaskan pejalan kaki, pengendara sepeda, transportasi umum, dan kendaraan bebas emisi.
Kedua, segera terbangun transportasi publik yang terintegrasi antarmoda. Memastikan Transjakarta di semua koridor, penambahan jalur commuter line (KRL), MRT serta Light Rail Transit (LRT) yang terkoneksi antarmoda di Jabodetabek.
Ketiga, perlunya modernisasi sarana dan stasiun kereta karena menjadi commuter utama di Jabodetabek. Kita mengapresiasi upaya Pemprov DKI Jakarta yang akan melakukan revitalisasi 16 stasiun bekerja sama dengan Kementerian BUMN, yakni di Stasiun Sudirman, Gambir, Manggarai, Tanah Abang, Pasar Senen, Palmerah, Juanda, Tebet, Gondangdia, Jakarta Kota, Cikini, Pasar Minggu, Grogol, Duren Kalibata, Karet, dan Klender.
Keempat, salah satu pilar smart city adalah smart people. Kita berharap dengan berbagai persoalan terkait transportasi di Jakarta, ada perubahan perilaku masyarakat pengguna. Kemacetan seringkali diciptakan oleh perilaku pengguna yang melanggar lalu lintas, atau belum adanya kesadaran untuk menggunakan transportasi umum. Data Kementerian Perhubungan menyebut baru 32 persen warga Jabodetabek yang menggunakan transportasi umum. Idealnya, ke depan bisa mencapai 60-70 persen. Oleh karena itu, ke depan kita berharap penggunaan transportasi umum bisa menjadi tren gaya hidup.
Sebagai pengguna transportasi publik, saya berharap berbagai masalah di atas dapat segera teratasi. Kita juga berharap masalah transportasi menjadi kesadaran bersama bagi semua pemangku kepentingan untuk bersinergi dan berkolaborasi mencari solusi. Kita sebagai masyarakat juga dapat ikut berperan dengan memberikan masukan dan tertib di jalanan.
M. Hariman Bahtiar warga Jakarta, anggota komunitas Asosiasi Big Data & Artificial Intelligence (ABDI)