Bertoleransi dengan Gembira

ADVERTISEMENT

Kolom

Bertoleransi dengan Gembira

Muhammad Musmulyadi - detikNews
Jumat, 10 Mar 2023 14:30 WIB
Hari Toleransi Internasional, Simak Serba-serbi Peringatannya
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom
Jakarta -
Pengajian ustaz Hanan Attaki dalam sejumlah pemberitaan dibubarkan oleh Banser. Aksi pembubaran itu terjadi di Masjid Al-Muttaqien, Desa Laden, Kecamatan Pamekasan, Madura pada Ahad (12/2/2023). Sangat ironis memang, ketika di lain sisi organisasi tersebut sangat dikenal lantang menyuarakan toleransi di mana-mana dan lintas agama, seperti menjaga rumah ibadah lainnya. Apalagi induk organisasi ini dikenal sebagai organisasi terbesar cum moderat.

Beberapa bulan yang lalu saya membaca tulisan di salah satu media berjudul Radikalisme di Institusi Pendidikan (9/06/22) yang ditulis oleh Bagong Suyanto. Sebuah tulisan yang sangat apik membahas radikalisme di institusi pendidikan. Tapi kelihatan sangat jelas bagaimana tulisan itu juga radikal terhadap satu fenomena keberagamaan di masyarakat.

Dalam tulisanya, saya sangat sependapat ketika Dekan Fisip Universitas Airlangga itu menyorot institusi pendidikan kita yang terpapar ajaran radikalisme. Berbagai data dan hasil temuan menunjukkan kampus-kampus dan sekolah-sekolah terpapar radikalisme. Belum lagi kasus-kasus intoleransi yang tanpa perlu membuka data penelitian pun kita telah mengetahui hal tersebut, ada dan menyala di mana-mana, seperti di mimbar kampus, di mimbar masjid dan terlebih di mimbar sosial media.

Tapi pada saat yang sama ketika penulis menguraikan persoalan radikalisme dan intoleransi di institusi pendidikan, ia juga menunjukkan watak intoleransi yang tersembunyi. Disadari atau tidak penulis telah melakukan penghakiman terhadap cara seseorang beragama dan berekspresi. Menurutnya, melalui hasil studi yang dilakukan di beberapa kabupaten/kota di Jawa Timur, ia menemukan bahwa cukup banyak siswa yang enggan atau tak perlu memberikan ucapan selamat merayakan Hari Natal kepada umat Nasrani. Tidak mengucapkan selamat Natal dianggap tidak toleransi?

Kedua kasus ini sama-sama menunjukkan narasi bahwa betapa pentingnya toleransi, tapi sayangnya berat sebelah. Keduanya cenderung melihat toleransi hanya sebatas menghormati dan menghargai agama yang berbeda tapi lupa menjalankan toleransi ke dalam (ke agama sendiri). Alih-alih menuliskan ajakan untuk toleran kepada sesama, tetapi malah memperlihatkan sikap yang menolak berbeda --yang beda dianggap intoleran. Jangan heran, jika sikap beberapa kelompok (agama) melihat program moderasi beragama secara negatif. Apalagi bagi kelompok-kelompok agama yang kontra pemerintah dan kawan-kawannya dijadikan bahan yang terus digoreng.

Potensi untuk berbeda sangat terbuka besar. Hal itu disebabkan oleh berbagai faktor. Perbedaan ini mengakibatkan lahirnya hasil hukum yang beda pula, sebab dipengaruhi oleh kondisi sosial di mana dalil tersebut hidup. Ataupun disebabkan oleh latar belakang sosial mufasir yang menghidupkan (menginterpretasi) dalil tersebut. Sebagaimana yang dikatakan Abdul Gaffar Karim pengajar Fisipol UGM sekaligus penulis buku Islam Nusantara itu.

Agama adalah urusan interpretasi, dan fikih adalah urusan definisi. Kita semau-maunya memegang definisi ataupun kebenaran tunggal mengenai siapa yang toleransi siapa yang intoleran, antara siapa yang radikal dan siapa yang tidak radikal.

Mampu Beradaptasi

Ustaz-ustaz ini banyak digandrungi oleh jemaah apalagi kalangan anak muda; mereka memang berhasil memenuhi kehendak pasar. Mereka mampu beradaptasi. Di media sosial mereka memproduksi konten menarik dan gaul yang tentu yang dekat dengan anak muda. Konten tersebut disajikan lintas kanal media sosial. Mereka berbenah dan memperoleh apa yang telah dibangun. Jemaah menyukainya dan berduyun-duyun mendatangi setiap majelis ilmu yang dilaksanakan. Sebagaimana Azis Ahmad menarasikan dalam salah satu esainya di dalam buku Islam Kota dan Islam Desa.

Malah yang menjadi pertanyaan, kenapa organisasi-organisasi besar, mapan dan yang getol menyuarakan moderasi beragama, tidak hadir di antara jemaah ini? Melainkan, malah datang membubarkan kajian mereka, karena dianggap pemecah belah umat dan sebagainya? Sikap tersebut justru menunjukkan ketidakmampuan mereka merebut hati jemaah, tidak menawarkan berislam dan beragama menarik --membahagiakan dan menggembirakan, dan atau jangan-jangan tidak memiliki pengaruh kuat di masyarakat.

Alih-alih mau mengoreksi diri kenapa terjadi hal demikian atau paling tidak mengedepankan dialog, sebagaimana yang sering mereka tunjukkan, melakukan dialog lintas iman ketika bertandang ke agama yang lain. Saya yakin bahwa penulis di atas dan organisasi tersebut prihatin terhadap masalah intoleransi, kebanyakan dari kita mengamininya. Tapi sayangnya kita hanya cenderung melihat hal tadi dari aspek antarumat beragama.

Tapi upaya toleransi jarang dilihat dan dibangun dari dalam, sesama agama. Seperti, bagaimana kita memahami, menyadari, menoleransi berbagai pemikiran, pemahaman, mengenai perbedaan hukum Islam (fikih) atau perbedaan dalam penafsiran terhadap teks-teks agama, dan lainnya. Kedua kutub ini seperti dua sisi magnet yang sangat sulit disatukan. Sebab, seperti yang di sampaikan Ismail Fajrie Alatas dalam ceramahnya di salah satu siniar, bahwa setiap jemaah memiliki figur otoritas sendiri. Saling membangun jemaah, kadang ada yang tidak cocok, ada yang cekcok. Kadang menciptakan ketegangan-ketegangan, ada rivalitas jemaah satu dengan yang lain.

Saya tidak mau julid, tapi telah banyak cerita-cerita tentang pembubaran kajian-kajian oleh kelompok-kelompok ini. Mulai dari pembubaran kajian salafi, pembubaran festival hijrah di kalangan anak muda, dan terbaru pembubaran pengajian ustaz Hanan Attaki. Kita seperti ingin memonopoli produk agama apa yang harus di konsumsi jemaah.

Biarkan saudara-saudara kita memilih jalan yang mereka yakini, meresepsi dan merayakannya dengan gembira. Kita sama-sama menuju kepada cinta yang sama, mengarungi, mengikuti arus menemukan kemuliaan dan kebijaksanaan. Mencari mutiara cinta, menuju mata air menyejukkan yang mencintai keramahan dan kemanusiaan dan memaklumi perbedaan. Asal, kita tidak saling mencederai kemanusiaan di semesta "kecil" ini.
Muhammad Musmulyadi pendidik yang tinggal di Makassar, alumni Fakultas Ushuluddin UIN Alauddin, bergabung di beberapa lembaga keagamaan

(mmu/mmu)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT