Judul Buku: Film dan Pascanasionalisme; Penulis: Seno Gumira Ajidarma; Penerbit: Diva Press, Yogyakarta, Februari 2023; Tebal: xiv + 384 halaman
Belakangan ini banyak prestasi dicapai film-film Indonesia di kancah dunia dengan meraih berbagai penghargaan festival film bergengsi. Hal ini kemudian kerap memunculkan kesadaran diplomasi budaya melalui film. Film-film tersebut (disebut) membawa identitas bangsa sebagai film nasional. Film berkelindan dalam konteks ideologi, politik identitas, dan kebangsaan.
Namun pengertian 'nasional' itu sendiri tak dapat dibatasi dalam hanya satu pengertian dan identitas yang utuh, karena hubungan antara film nasional dan kebangsaan hanyalah suatu kemungkinan, bukan suatu esensi. Film nasional tidak mencerminkan atau mengungkap suatu 'esensi' kebangsaan atau kebudayaan—tapi kebangsaan dan kebudayaan bagi film nasional adalah unsur-unsur yang tersedia untuk dijelajahi (Choi, 2006; Ajidarma, 2014).
Dengannya, film tidak hanya sebuah capaian teknis audio visual sebagai ekspresi dan representasi budaya. Sejak awal kehadiran hingga perkembangan kiwarinya, film adalah sebuah medan makna pertarungan ideologis, baik dalam arti sempit (kapitalisme, ekspresionisme dan lainnya) maupun ideologi dalam arti luas (cara memandang dunia).
Seno Gumira Ajidarma (SGA) menguraikannya dengan detail, menengok pada setiap tahap perkembangan (teknis dan ideologi) film di berbagai belahan dunia, mengurai logika dalam memaknai ide-ide yang tersimpan di baliknya, sebagai upaya kontekstualisasi kedudukan film bagi bangsa Indonesia. Hal ini penting untuk menempatkan film, nasionalisme dan kebangsaan sebagai sebuah daya penggerak kreativitas dan energi positif dalam memaknai (dinamika sosio-kultural) bangsa.
Dengan potensi yang dimilikinya, baik secara teknis dan ekspresi yang dihasilkan serta fungsi dan perannya di masyarakat, film tidak pernah lepas dari beban ideologis: mengabdi pada ilmu pengetahuan yang mengembangkan teknologinya; demi kepentingan ekonomi kapitalis berkembang sebagai komoditas; atau mendayagunakan logika dalam jalan dokumenter maupun hiburan (hlm. 343).
Namun sistem ekonomi kapitalis menggiring suatu kompetisi bisnis hiburan --yang secara bersamaan menghela pertumbuhan teknologi dan cara berbahasa film komersial-- dalam suatu budaya industri fenomenal dan global, yang pada gilirannya ikut menentukan dan membentuk dominasi Hollywood ("Hollywood: Dongeng Industri", hlm. 346).
Ekonomi (finansial dan budaya) bekerja simultan dalam pertukaran uang dan dalam proses pembermaknaan oleh konsumen. Tindak menonton menjadi proses bekerja faktor makna, kesenangan dan identitas sosial, yang menunjukkan bagaimana film mendapatkan arti bukan hanya dari dirinya sendiri, tapi juga dari caranya ditonton ("Kibul Hollywood dalam Ekonomi Budaya", hlm. 347).
Seluruh pembicaraan itu menjadi kontekstual dalam merumuskan konsep identitas (dalam) film nasional. Dalam bagian "Film Nasional dalam Strategi Kajian", SGA menegaskan persoalan identitas kebangsaan (nationality) tidak dengan sendirinya akan terdapat secara tekstual dalam film nasional, terlebih jika film nasional tidak bisa lepas dari bahasa film Hollywood. Itu sebabnya secara fungsional hanya film yang tidak menggunakan naratif atau cara bertutur Hollywood, dapat disebut sebagai film nasional.
Untuk itu, negara mutlak diperlukan perannya memperjuangkan kehadiran film nasional dalam politik ekonomi budaya, yang akan berhadapan pada etika bisnis tertentu, yang bisa diikuti atau ditolaknya. Kehendak konsumen/penonton notabene bangsa itu sendiri, yang hidup dalam kuasa wacana Hollywood, ikut menentukan bagaimana identitas nasional itu akan hadir atau tidak dalam sinema nasional ("Film, Negara dan Industri").
Dicontohkanlah Nigeria, dengan kreativitas dan identitas lokal menumbuhkan suatu ekonomi budaya, dengan film sebagai komoditasnya, yang membuat para sineas maupun penontonnya berumah di negeri sendiri. Tanpa bioskop, stasiun TV dan dukungan pemerintah, sinema cakram Nollywood menjadi inspirasi negeri-negeri Afrika lainnya, sebagai tonggak budaya maupun sukses ekonomi ("Nollywood, Afrika dan Sinema Dunia", hlm. 349).
Ini diperkaya sebagai gejala urban seperti Netflix yang cair dan hybrid, mampu menampung perjuangan nasionalisme dalam sinema, yang ternyata hanya dimungkinkan dalam kondisi yang melampaui gerakan, gelombang, ataupun genre ("Nasionalisme dalam Netflix: Kosmopolitanisme Hiburan")
Menurut SGA, identitas nasional terbangun dari fragmentasi kebudayaan berupa puing-puing reruntuhan tradisi, akibat perbenturannya dengan modernisasi, yang membuat sikap identitas menjadi kebergandaan identitas. Hal ini disadari dan diolah menjadi karya, seperti yang dilakukan Usmar Ismail dan Djajakusuma, dilanjutkan Misbach Yusa Biran, Teguh Karya, Arifin C Noer, lalu Eros Djarot, Garin Nugroho, hingga Yoseph Anggi Noen, Kamila Andini, Wicaksono Wisnu Legowo, BW Purbanegara, Dirmawan Hatta, dan lainnya.
Untuk itu, film mesti mampu mewacanakan dirinya, baik sebagai aspirasi politik, pernyataan akan identitas dan cita-cita kebangsaan maupun ekspresi artistik. Film mesti terhubung dengan ide besar tentang identitas kebangsaan dan kebudayaan, dan pada akhirnya tentang apa itu Indonesia (SGA, 2014).
Maka, bisa diandaikan sebuah gagasan tentang film yang koheren dan menyatu, yang merepresentasikan keragaman bangsa yang riil dan kontekstual, di mana kita dapat mengkonstruksikan identitas, memilih media untuk menceritakan diri dan kehidupan kita agar identitas dan makna yang kita inginkan terbentuk (Junaidi, 2006). Film adalah upaya untuk memilih makna.
Purnawan Andra bekerja di Direktorat Pengembangan & Pemanfaatan Kebudayaan Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek
Pustaka
Sinema dalam Kelindan Makna
Jumat, 10 Mar 2023 16:30 WIB

Jakarta -