Kota Kediri selalu menarik dengan segala pernak pernik sejarah dan kebudayaannya. Hiruk pikuk aktivitas masyarakat menjadi simpatik tersendiri untuk dinikmati, sekadar diabadikan dalam gambar digital atau ditulis menjadi sebuah catatan perjalanan. Salah satu kawasan yang padat aktivitas dan menjadi pusat kota Kediri adalah Jalan Dhoho. Geliat aktivitas ekonomi menjadikan Jalan Dhoho ramai dikunjungi oleh masyarakat lokal maupun pengunjung dari berbagai daerah.
Usai berkeliling di sepanjang Jalan Dhoho, kurang lengkap rasanya jika tidak menutup perjalanan dengan mampir di salah satu wisata kuliner legendaris di Kota Kediri. Terkenal dengan nama Soto Podjok, berdiri sejak 1926. Persis seperti namanya, depot soto ini terletak di pojok perempatan Jalan Dhoho yang menghubungkan Jalan Raden Patah dengan Jalan Monginsidi. Alamat lengkapnya berada di Jalan Dhoho No. 146, Setono Gedong.
Usai berkeliling di sepanjang Jalan Dhoho, kurang lengkap rasanya jika tidak menutup perjalanan dengan mampir di salah satu wisata kuliner legendaris di Kota Kediri. Terkenal dengan nama Soto Podjok, berdiri sejak 1926. Persis seperti namanya, depot soto ini terletak di pojok perempatan Jalan Dhoho yang menghubungkan Jalan Raden Patah dengan Jalan Monginsidi. Alamat lengkapnya berada di Jalan Dhoho No. 146, Setono Gedong.
Berbicara mengenai soto, siapa sih yang tidak mengetahui kuliner satu ini? Soto sudah sangat akrab menjadi branding kuliner berkuah dari Indonesia yang terkenal dengan bumbu rempah-rempahnya. Indonesia memiliki beragam varian soto yang membawa identitas khas di setiap daerah. Soto Betawi, soto 'dok' Semarang, soto ambengan Surabaya, soto grombyang Pemalang, doto Kudus, soto Makassar, dan berbagai jenis soto lain yang namanya kerap disandingkan dengan asal daerah, cara penyajian, nama penjual, ataupun tempat jualan, termasuk Soto Podjok. Kuliner berkuah satu ini kerap dihadirkan sebagai menu utama pada berbagai acara formal dan non formal.
Bangunan dengan gaya arsitektur kuno akan tampak dari luar rumah makan Soto Podjok. Pintu persegi panjang dengan jendela besar yang didesain berdekatan hampir memenuhi sebagian besar dinding yang berwarna putih. Jendelanya terbuat dari kayu dengan model bukaan lipat ke samping kanan dan kiri. Warna krem pada jendela memperkuat gaya arsitektur kuno yang menampilkan kesan teduh dan elegan. Arsitektur Podjok terlihat mencolok dibandingkan dengan bangunan sekitarnya yang sudah mengikuti gaya arsitektur kota pada umumnya. Anda akan menemukan sebuah papan bertuliskan ejaan kuno di bagian atas salah satu jendelanya: "Soto Ajam Podjok".
Berdasarkan penelitian dari Ary Budiyanto dan Intan Kusuma Wardani dengan judul Menyantap Soto Melacak Jao To: Merekonstruksi (Ulang) Jejak Hibriditas Budaya Kuliner Cina dan Jawa (2013), soto berasal dari Cina yang pertama kali populer di Kota Semarang pada abad XIX. Kehadiran beragam varian soto dari berbagai daerah di Indonesia merupakan hasil dari kreativitas individu yang mengandalkan insting ciri khas "rasa budaya" setiap daerahnya. Masih terdapat perbedaan versi terkait asal mula sejarah soto, namun menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya, soto berasal dari Cina, dalam dialek Hokkian jao to (rerumputan jeroan/jeroan berempah).
Tiga Generasi
Dokkk! Suara khas yang menyambut pembeli ketika datang ke Soto Podjok. Suara botol kecap yang dientakkan keras ke meja mengejutkan mereka yang baru pertama kali mampir ke depot Podjok. Suara tersebut memang disengaja sebagai "kode". Begitulah cara unik Soto Podjok memberikan tanda untuk para pembeli bahwa semangkuk soto telah siap saji dan mungkin saja itu pesanan mereka yang akan segera diantarkan oleh pramusaji.
Sejak pertama kali berdiri pada 1926, Soto Podjok sudah tiga kali regenerasi pemimpin. Hingga 2022, estafet sejarah panjang perjalanan Soto Podjok masih dipegang oleh Ibu Rumiani sebagai pemimpin generasi ketiga. "Racikan bumbu yang digunakan selalu sama dari masa ke masa. Itulah kunci Soto Podjok mempertahankan eksistensinya hingga generasi ketiga," terang Diko, seorang pemuda bertubuh tinggi besar dengan kulit bersih. Diko membantu ibunya mengawasi usaha keluarga yang sudah turun temurun tersebut.
Soto Podjok hadir setiap hari dari jam tujuh pagi hingga pukul empat sore. Menu utamanya ada tiga jenis, yakni soto ayam, soto ayam pisah, dan soto ayam ekstra ayam. Menu tambahan dan minumannya juga tidak kalah beragam, menemani pembeli menyantap soto sembari menikmati suara riuh redam keramaian Jalan Dhoho. Tahu goreng kecap, kulit goreng, dan ati ampela adalah deretan menu favorit depot Podjok. Tahunya digoreng kering, dipotong-potong menjadi bagian yang cukup untuk sekali lahap.
Dokkk...dokkk...! Anda akan merasakan suasana yang sederhana dan bersahaja, dengan suara botol kecap yang membuat telinga semakin pekak. Semakin ramai pembeli yang datang, suara entakan botol kecap dapur Soto Podjok akan semakin sering terdengar.
Kursi duduk sepanjang meja makan, toples kerupuk besar, dan etalase panjang berbingkai kayu berbalut kaca. Pembeli bisa mengambil sendiri aneka kerupuk dan keripik, telur asin, telur ayam kampung, perkedel kentang, serta beragam minuman dalam kemasan yang sudah tersedia di meja makan. Meskipun sudah disediakan minuman botol kemasan di atas meja makan, pengunjung juga bisa memesan teh manis, es jeruk, es sirup, kopi, dan masih banyak pilihan minuman lainnya. Manis es sirupnya pas.
"Soto ayam di sini murah meriah," kata Deryan, salah seorang pembeli Soto Podjok.
Kuah Bening Segar
Berdasarkan sumber yang sama menurut penelitian yang ditulis oleh Ary Budiyanto dan Intan Kusuma Wardani, melalui ragam pernak-pernik pelengkap soto, kita dapat melihat pengaruh gaya kuliner dari berbagai daerah dan negara. Sebut saja ketumbar dan seledri yang menjadi ciri khas masakan Eropa. Sementara lauk perkedel berasal dari budaya peranakan Belanda Indies yang aslinya dari Prancis, frikkadel.
Tahu goreng, telur rebus, dan jeroan bumbu pindang (dimasak menggunakan santan, bumbu rempah, gula merah, dan kecap) merupakan peranakan dari Cina. Tempe goreng khas Jawa, kerupuk udang peranakan Cina, sedangkan emping mlinjo dan kerupuk rambak asli dari Indonesia. Sementara penggunaan taburan mie bihun yang biasa disajikan bersama soto pada umumnya sudah jelas berasal dari Cina.
"Apakah ingin kecambah dan seledri?" tanya pelayan yang mencatat pesanan. Pertanyaan yang selalu diajukan kepada pembeli.
Kecambah khas Soto Podjok disajikan sudah direbus setengah matang, berbeda dengan kecambah soto pada umumnya yang disajikan mentahan. Nasi putih diletakkan menepi pada mangkuk soto besar menyerupai gundukan selanjutnya ditaburi dengan ayam kampung, seledri, dan kecambah kemudian diguyur dengan kuah soto panas. Tercium aroma rempah dari mangkuk ketika pesanan soto sudah sampai di meja makan.
Berbeda dengan olahan soto di beberapa daerah yang lekat dengan rasa gurih santan, Soto Podjok memiliki ciri khas kuah bening tanpa santan yang segar. Sambal Soto Podjok menggunakan cabai rawit yang dihaluskan, bukan sambal kecap ataupun cabai utuhan. "Mampir ke Soto Ayam Podjok selalu terpikat dengan kuah soto bening yang seger dan terasa kaldu ayamnya. Mantap!" terang Elyza saat selesai menikmati soto ayam bersama teman-temannya.
Sejak pertama berdiri, tidak banyak yang berubah dari arsitektur bangunan dan interior depot Soto Podjok. Hanya sedikit perluasan lokasi ke arah utara, untuk menampung jumlah pembeli yang cukup padat terutama pada akhir pekan. Meskipun perluasannya juga tidak terlalu besar hanya saja cukup membantu untuk menampung sekitar 15 pelanggan yang datang.
Sebuah ikhtisar sederhana mengenai asal mula soto yang masih perlu dikaji ulang, boleh jadi akar dari terciptanya kuliner berkuah dengan beragam variasi ini merupakan sebuah metonimia. Seperti halnya penyebutan 'indomie' untuk mie instan atau 'aqua' untuk melabeli air mineral. Oleh karena itu, penyebutan soto boleh jadi bukan berasal dari kuliner Cina secara langsung, terlebih lagi dari derivasi jao to peranakan Semarang.
Cita rasa khas dari sebuah kuliner bukan berarti cita rasa asalnya, begitu juga penggunaan perlengkapan budaya lain bukan berarti mendapat pengaruh budaya asal secara identik. Selalu ada proses kreativitas dan inovasi dari individu tertentu dengan kekayaan budaya asli untuk menciptakan sebuah variasi baru, termasuk dalam hal ini merujuk pada perkembangan soto.
Simak juga 'Kuliner Bubur Ayam Sunda Kesayangan Para Pekerja di Sudirman':
(mmu/mmu)