Dunia permobilan terus mengembangkan inovasinya. Dari mulai aspek interior yang semakin memanjakan para penggunanya hingga aspek eksterior yang semakin tampil menawan dengan berbagai aksesorisnya. Bahkan, dalam aspek keamanan yang terus mengembangkan sisi kenyamanan bagi penggunanya.
Tidak ketinggalan pula inovasi mobil dari aspek energi dengan adanya mobil listrik. Secara historis, Indonesia sudah mulai mengembangkan mobil listrik pada 2012. Mobil listrik pertama di Indonesia diciptakan oleh Ricky Elson setelah melakukan berbagai eksperimen, hingga akhirnya mobil ciptaannya diperkenalkan di KTT Apec 2013. Hanya saja, secara kecepatan masih terbatas pada 29 km/jam.
Seiring berjalannya waktu, pemerintah secara masif mendukung produksi mobil listrik di Indonesia. Misalnya saja, pada pertemuan KTT G20, Indonesia memanfaatkan mobil listrik sebagai kendaraan mobilitas pejabat negara. Bahkan, Kementerian Perindustrian memberikan prioritas pada kendaraan listrik sebagai pengembangan industri nasional pada 2020-2025 mengingat mobil listrik lebih ramah lingkungan.
Namun, apakah bisa mobil listrik menjamur di Indonesia? Dalam jangka panjang, kemungkinan besar masih berpeluang. Tetapi, dalam skala pendek, cukup sulit mobil listrik menjamur di Indonesia. Bagaimana bisa dalam jangka pendek mobil listrik sulit menjamur di Indonesia padahal jika berkaca pada aspek pemasarannya sudah gencar terjadi di berbagai media sosial? Kerap kali iklan mobil listrik berseliweran di media sosial dengan menggunakan anak muda sebagai bintang iklannya.
Anak muda memang menjadi target pemasaran dari mobil listrik. Sayangnya, menjadikan anak muda sebagai target pemasaran mobil listrik di Indonesia kurang tepat. Tidak mungkin anak muda di Indonesia mau membeli mobil listrik mengingat stabilitas ekonomi anak muda di Indonesia masih mengalami sengkarut.
Data dari Badan Pusat Statistik memperlihatkan terdapat 8,4 juta anak muda di Indonesia mengalami pengangguran pada Agustus 2022. Dengan didominasi umur antara 20 tahun s/d 24 tahun. Belum lagi persoalan kecilnya jumlah pendapatan kerja pada anak muda di Indonesia. Data dari Katadata memperlihatkan pemasukan anak muda Indonesia mayoritas masih memiliki pemasukan kecil dengan angka dua sampai dengan tiga juta setiap bulannya.
Saya juga pernah melakukan survei sederhana tentang jumlah pemasukan anak muda di lingkungan pertemanan. Hasil survei yang saya lakukan memperlihatkan bahwa rata-rata teman saya memiliki jumlah pemasukan paling kecil satu juta dan terbesar tiga juta rupiah. Jumlah pemasukan mereka tidak selaras dengan besarnya pengeluaran. Sehingga, rata-rata teman saya dalam sebulan hanya mampu menabung sebesar tiga ratus ribu sampai lima ratus ribu rupiah.
Dengan kecilnya jumlah pemasukan dan besarnya pengeluaran anak muda di Indonesia, nihil jika mereka mampu membeli mobil listrik mengingat harga mobil listrik di Indonesia berkisaran dua ratus juta hingga dua miliar rupiah. Sungguh angka yang fantastis dan sulit bagi anak muda untuk membeli mobil listrik.
Jadi, kalau mau mobil listrik menjamur di Indonesia, ada baiknya target pemasaran dari mobil listrik mengarah pada orang tua. Sekalipun demikian, bukan perkara mudah untuk menggaet orang tua agar mau membeli mobil listrik. Sebab, ada ketidaksesuaian budaya yang terjadi pada kehidupan orang tua dengan mobil listrik.
Saya pernah menanyakan pada lima orang tua tentang kemauannya untuk membeli mobil listrik. Dari kelimanya mereka mengatakan tidak terpikirkan sama sekali untuk mau menggunakan mobil listrik. "Apa alasannya?" tanya saya. Jawabannya, "Nanti kalau mobilnya kehabisan listrik di tengah jalan, yang ada malah rumit mengingat sulit mencari stasiun pengisian listrik, tidak seperti mobil berjenis bahan bakar minyak yang banyak pom bensin jika mulai kehabisan bahan bakar." Intinya, takut ribet.
Jadi, kalau mau mobil listrik menjamur di Indonesia, pemerintah harus segera membangun stasiun pengisian bahan bakar listrik secara progresif dan merata. Jangan hanya ada di kota-kota besar. Di Madura, misalnya, sejauh pengamatan saya belum ada stasiun pengisian bahan bakar listrik.
Alasan lainnya adalah takut dalam hal perawatan lantaran belum pernah mengetahui cara memperlakukan mobil listrik. Saat saya tanya, "Memangnya saat pertama kali beli mobil biasa, tidak takut salah cara merawatnya?" Sontak, para orang tua yang saya tanya menjawab, "Tidak. Kan banyak teman saya yang sudah berpengalaman menaiki mobil biasa, jadi saat pertama kali membeli, tinggal tanya saja pada teman cara merawatnya."
Sampai sini kita bisa membayangkan bahwa jangan berharap jalanan akan dipenuhi oleh mobil listrik. Entah, kalau lima belas tahun atau dua puluh tahun ke depan. Mungkin saja, mobil listrik mulai jadi prioritas masyarakat Indonesia. Kalau belum jadi prioritas, mungkin kebijakan menaikkan harga BBM menjadi skala prioritas sebagai cara liciknya. Ini masih mungkin lho....
Akbar Mawlana Magister Sosiologi UMM, founder Arena Sosial
Simak juga '5 Merek Motor-Mobil Listrik yang Dapat Subsidi':