Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca melalui Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional dengan target penurunan emisi yang diproyeksikan berasal dari sumber energi baru terbarukan (EBT) paling sedikit 23% pada 2025 dan paling sedikit 31% pada 2050. Dengan transisi energi ini, Indonesia ingin mengurangi penggunaan sumber energi dari fosil seperti batu bara dan lainnya, dan lebih banyak menggunakan EBT.
Saat ini sebagian besar produksi energi menggunakan batu bara dan sumber daya alam yang merupakan karbon. Fenomena ini dianggap menjadi penyebab utama terjadinya pemanasan global. Penggunaan EBT dianggap menjadi solusi dalam mencegah efek terburuk dari kenaikan suhu, juga untuk mendukung komitmen Indonesia dalam pencapaian Nationally Determined Contribution (NDC) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) 29% di bawah Business as Usual (BAU) pada 2030 dan sampai dengan 41% dengan bantuan internasional.
Indonesia memiliki potensi besar cadangan EBT seperti panas bumi, angin, surya hingga energi arus laut, juga memiliki sumber energi air, biomassa, angin, hingga matahari. Semua sumber energi tersebut masih banyak yang belum didayagunakan dengan maksimal. Harapannya Indonesia bisa mengembangkan pemanfaatan energi terbarukan seperti negara-negara maju lainnya agar dapat bersaing dalam sektor energi di masa depan.
Pencapaian Target
Pemerintah terus melakukan upaya-upaya dalam mencapai penggunaan energi hijau yang lebih bersih. Di antaranya dengan menyusun Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang di dalamnya terdapat program-program energi hijau yang mengarah terhadap tercapainya bauran EBT 23% pada 2025. Dalam mendorong pencapaian target bauran EBT, Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengembangkan program cofiring biomassa dan batu bara pada PLTU.
Cofiring merupakan proses penambahan biomassa sebagai bahan bakar pengganti parsial ke dalam boiler batu bara tanpa melakukan modifikasi yang signifikan. Menurut hasil penelitian, biomassa menawarkan manfaat adanya efisiensi konversi yang tinggi, penghapusan energi yang ekstensif proses pengeringan, dan suhu operasi yang relatif rendah dibandingkan dengan proses termal lainnya.
Biomassa mengandung sulfur yang jauh lebih rendah sehingga berdampak mengurangi pemanasan global karena hampir netral emisi karbon, dan dapat mengurangi penggunaan energi fosil (batu bara) yang tidak terbarukan. Pelaksanaan cofiring diyakini mudah dan murah karena tanpa perlu membangun pembangkit baru dan memperpanjang masa pakai pembangkit listrik.
Biomassa merupakan bahan baku bioenergi dalam bentuk padat. Berbagai kriteria dalam mendefinisikan penggolongan suatu jenis tanaman potensial sebagai kayu energi untuk biomassa padat antara lain mampu hidup pada rentang kondisi lingkungan yang luas, mudah dibudidayakan dan tidak memerlukan perawatan yang rumit, mudah diperoleh bahan tanamannya, pertumbuhan cepat dan memiliki kemampuan trubusan tinggi, kayunya bernilai kalor yang tinggi, pembakarannya tidak menghasilkan asap yang beracun, diutamakan jenis yang mampu mengikat nitrogen, jenis yang multiguna akan lebih berharga.
Lebih dari 1200 jenis memenuhi persyaratan sebagai kayu energi. Selanjutnya ditapis lebih lanjut menggunakan kriteria nilai kalor, fast growing species, menghasilkan trubusan yang cepat dan daya adaptasi yang baik hingga diperoleh 6 jenis yang diunggulkan sebagai kayu energi, meliputi pilang (Acacia leucophloea), weru (Albizia procera), kaliandra (Calliandra calothyrsus), lamtoro (Leucaena leucocephala), gamal (Gliricida sepium), dan akor (Acacia auriculiformis).
Kelebihan dari jenis jenis tersebut bukan merupakan komoditas kayu pertukangan sehingga apabila dikembangkan tidak mengganggu kestabilan produk kayu bakar. Selain dari kayu, biomassa padat juga dapat diperoleh dari bahan residu limbah pertanian, sampah rumah tangga dan industri seperti sisa tandan buah kosong kelapa sawit dan residu/limbah hasil industri pengolahan hasil hutan seperti residu penebangan, penggergajian. Biomassa umumnya dimanfaatkan atau dikonversi menjadi bioenergi dengan menggunakan proses pembakaran langsung seperti kayu bakar, briket dan pelet, termokimia dan biokimia.
Hutan tanaman energi sangat potensial dikembangkan untuk menghasilkan biomassa sebagai salah satu sumber energi terbarukan yang dapat menjadi salah satu rantai pasokan penyediaan biomassa untuk cofiring di PLTU. Pengembangan hutan tanaman energi juga berpotensi dapat mengurangi deforestasi dan degradasi hutan. Oleh karena itu, melalui PP No 23 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memprioritaskan Pengukuhan/Pelepasan Kawasan Hutan salah satunya untuk kegiatan pengadaan ketahanan energi.
Potensi Biomassa
Cofiring biomassa dengan batu bara diyakini dapat meningkatkan ketahanan energi di Indonesia. Namun permasalahannya, sebaran potensi biomassa di sekitar PLTU tidak sama. Harga biomassa sendiri sangat tergantung dari total biaya raw material, pengolahan, dan jarak transportasi, sehingga mayoritas dari potensi biomassa yang ada harganya di atas harga batu bara.
Usaha penyediaan biomassa merupakan peluang untuk menciptakan iklim investasi yang baik bagi industri biomassa domestik dan akan memberikan pengaruh bagi kesejahteraan masyarakat. Insentif pemerintah sangat penting untuk meningkatkan produksi energi dari alternatif biomassa dan untuk menciptakan peluang bisnis yang layak. Untuk mengembangkan usaha EBT, investor mempertimbangkan untung dan rugi serta aspek keberlanjutan usaha.
Tantangan pemerintah adalah bagaimana memberikan kemudahan perizinan dalam pengembangan hutan tanaman energi juga memberikan stimulus kepada produsen biomassa tanaman energi untuk keekonomian proyek dan kontrak jangka panjang untuk kepastian pengembalian investasi.
Pemasaran kayu merupakan hal yang penting dalam pengelolaan hutan tanaman energi. Perlunya jaminan harga yang tetap dan pasar yang luas agar pemasaran biomassa bisa berjalan lancar. Kehadiran off taker dalam pemasaran diperlukan untuk mengatasi hal tersebut. Off taker tersebut setidaknya dapat memberikan jaminan akses pasar kepada masyarakat dengan harga yang baik dan kompetitif.
Misalnya, jika hutan tanaman dialokasikan untuk menyediakan biomassa yang akan digunakan untuk menyediakan pasokan untuk industri tertentu, maka yang harus disiapkan adalah jaminan kepastian harga beli bahan baku biomassa sehingga menjamin kelayakan usaha hutan tanaman energi tersebut.
Dalam hal ini, seharusnya industri tersebut yang berlokasi terdekat merupakan potensial off taker untuk kayu hasil dari hutan tanaman energi. Peran off taker sebagai pelaku bisnis harus bisa memberikan peningkatan kapasitas petani sehingga dapat memaksimalkan kayu sesuai dengan standar peruntukan.
Produksi biomassa didorong hanya oleh permintaan dan harga pasar. Dari hal tersebut itulah, off taker memegang peranan sangat penting dalam membantu meminimalkan kesenjangan antara pendapatan yang diharapkan dan yang sebenarnya didapatkan nanti dari pembangunan hutan tanaman energi. Untuk keberlangsungan hutan tanaman energi, harus ada kepastian off taker sebagai penjamin komoditas hasil hutan yang akan menghubungkan komoditas tersebut ke pasar.
Wieke Herningtyas Peneliti Ahli Pertama di Badan Riset dan Inovasi Nasional
Simak juga 'Sensasi Ngopi Asyik di Tengah Hutan Pinus Ciamis':