Lebih Serius Menangani Obesitas

ADVERTISEMENT

Kolom

Lebih Serius Menangani Obesitas

Dr. Iqbal Mochtar - detikNews
Jumat, 17 Mar 2023 10:00 WIB
Ilustrasi Obesitas
Ilustrasi: Thinkstock
Jakarta -

Isu kelebihan berat badan masih kurang mendapat perhatian yang serius di negara-negara berkembang. Pemerintah dan masyarakat lebih fokus pada penanganan masalah berat badan kurang (underweight) seperti malnutrisi atau stunting. Makanya, program-program mengatasi malnutrisi dan tengkes banyak dilaksanakan di negara-negara tersebut, sedangkan program-program mengatasi overweight hampir tidak terdengar sama sekali.

Obesitas atau kegemukan berlebihan adalah penumpukan lemak berlebihan tubuh. Tanpa disadari, obesitas telah berkembang menjadi persoalan kesehatan global dan kompleks. Pada masa lalu, sangat jarang ditemukan orang berbadan obese. Namun, dalam 50 tahun terakhir, proporsi orang yang mengalami obesitas meningkat hingga tiga kali lipat, sementara orang dengan berat badan rendah justru menurun 30%.

Pada 2016 saja, lebih 2 miliar orang di dunia mengalami kelebihan berat badan; 700 juta di antaranya mengalami obesitas. Tanpa penanganan yang tepat, 1 dari 5 wanita dan 1 dari 7 pria akan mengalami obesitas sebelum pada 2030. Wajarlah bila ada narasi bahwa dunia saat ini sementara dilanda pandemi obesitas.

Tidak Terbendung

Berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi obesitas ini, baik pada level global maupun nasional. WHO telah melakukan serangkaian inisiatif global dengan target menahan laju prevalensi obesitas pada periode 2010-2025. Berbagai negara dan institusi juga menyelenggarakan berbagai upaya penatalaksanaan. Namun hasilnya masih jauh dari memuaskan; prevalensi obesitas tidak terbendung dan terus menanjak dari tahun ke tahun. Ada beberapa alasannya.

Pertama, persepsi tentang obesitas masih didominasi persepsi tradisional. Masih banyak yang menganggap obesitas hanyalah masalah ketidakseimbangan makan dan sebagian bahkan menganggapnya ciri sehat dan sejahtera. Akibatnya, orang obese jarang dianggap penyakitan; justru anak-anak gemuk dianggap lucu dan menggemaskan. Padahal paradigma obesitas sudah sangat berubah.

Hingga tiga dekade lampau, obesitas memang hanya dianggap faktor risiko penyakit; artinya, orang obese memiliki kemungkinan menderita penyakit lain. Namun sejak tahun 2000-an, berbagai asosiasi medis dan kesehatan menegaskan bahwa obesitas adalah sebuah penyakit kronis dan progresif. Orang obese mengalami penurunan harapan hidup bahkan hingga 10 tahun serta berisiko menderita setidaknya 18 jenis penyakit. Dengan paradigma ini, mestinya obesitas ditatalaksanai secara serius, seperti seriusnya menatalaksanai penyakit jantung dan diabetes. Sayangnya, hal ini tidak terjadi.

Kedua, stigmatisasi genetik sebagai penyebab obesitas. Obesitas memang disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan. Sayangnya, ada pihak yang gandrung mengedepankan faktor genetik sebagai penyebab paling penting obesitas. Dengan stand point ini, sulit melakukan perubahan. Bagaimana bisa melakukan perubahan bila penyebabnya adalah kondisi genetik yang sangat sulit dimodifikasi?

Memang beberapa studi menyebutkan peran besar genetik terhadap obesitas. Bahkan ada yang menyebut kontribusinya hingga 70%. Namun studi-studi terkini menganggap figur ini terlalu berlebihan. Peran genetik sejatinya hanya berkisar 40%. WHO sendiri, setelah melakukan studi mendalam, menarasikan bahwa obesitas adalah penyakit sosial dan lingkungan (social and environmental diseases). Artinya, pesan sosial dan lingkungan sangat besar.

Kebiasaan mengkonsumsi makanan tinggi kalori, lemak, dan gula adalah pemicu obesitas. Minimnya aktivitas fisik dan olahraga meminimalkan pengontrolan berat bedan. Apalagi manusia saat ini berhadapan dengan budaya obesogenic: menonton televisi atau bermain game dalam waktu lama, kebiasaan mengkonsumsi makanan cepat saji, budaya kuliner, dan nongkrong di warung kopi; semua ini memantik dan memperberat obesitas.

Menganggap faktor sosial dan lingkungan sebagai determinan utama obesitas membuka ruang besar bagi manusia untuk berusaha, bukan hanya pasrah dan menerima apa adanya obesitas. Berbeda dengan faktor genetik, aspek-aspek sosial dan lingkungan ini sangat bisa dimodifikasi.

Ketiga, penatalaksanaan setengah hati. Sebagian pemerintah masih melirik setengah mata obesitas. Mungkin kurang sadar magnitudonya. Kalaupun sadar, mungkin belum serius karena menganggap tingkat lukratifitas dan nilai politisnya lebih inferior dibanding kasus gizi rendah atau malnutrisi. Pemerintah akan mendapat tepukan tangan bila serius menangani malnutrisi dan stunting; tapi siapa yang mengapresiasi ketika mereka menangani obesitas?

Di Indonesia, lewat program Gerakan Nusantara Tekan Angka Obesitas, pemerintah memang melaksanakan berbagai program, namun hanya lewat ceramah, penyebaran pamflet dan brosur. Penatalaksanaan tersebut terlalu gemulai untuk sebuah penyakit kronis progresif seperti obesitas. Mestinya pemerintah lebih aktif dan progresif.

Banyak yang dapat mereka lakukan, termasuk membatasi iklan makanan kalori berlebihan, mewajibkan warning label pada makanan kandungan kalori tinggi dan menurunkan harga sayuran dan buahan. Kebijakan pada tingkat pemerintah ini akan efektif mengontrol peningkatan prevalensi obesitas. Cuma memang ada efek sampingnya. Sama dengan rokok, bisnis makanan berkalori tinggi, cepat saji, dan junk food adalah lahan bisnis dengan setoran pajak besar. Mengutak-atik lahan ini sama saja mengurangi potensi pendapatan pajak.

Keempat, pada tingkat individu, penatalaksanaan obesitas membutuhkan komitmen dan kedisiplinan tinggi. Bagi orang yang tidak terbiasa dan minus komitmen, tidak mudah membatasi makanan dan minuman yang disukai sebagaimana tidak mudahnya melakukan olahraga teratur. Padahal penanganan obesitas membutuhkan komitmen panjang dan berkelanjutan. Bahkan setelah berat badan ideal tercapai, perlu terus dipertahankan pola diet dan olahraga. Bila tidak, obesitas muncul kembali.

Pendekatan Holistik

Studi menunjukkan bahwa pada obesitas, 80% orang yang berhasil menurunkan berat badan kembali ke berat badan awal mereka dalam waktu dua tahun. Profil ini lebih tinggi dari kekambuhan perokok yang berkisar 70%. Untuk menanggulangi masalah obesitas diperlukan pendekatan holistik yang melibatkan berbagai sektor dan pemangku kepentingan. Lewat kampanye edukasi yang lebih agresif dan berkelanjutan, masyarakat perlu disadarkan secara maksimal tentang bahaya obesitas.

Dengan kesadaran ini, masyarakat membangun komitmen dan kedisiplinan tangguh melawan obesitas. Pemerintah harus terlibat aktif dengan membuat regulasi ketat. Pihak swasta perlu berkontribusi dengan upaya-upaya kondusif. Juga, penting melakukan kerja sama internasional dalam riset dan pengembangan intervensi terbaru. Hal ini akan membantu mengembangkan strategi yang lebih efektif dan terukur dalam menangani pandemi obesitas secara global.

Iqbal Mochtar dokter dan doktor bidang kedokteran dan kesehatan, pengurus PB IDI dan PP IAKMI

Simak juga 'Lebih dari Separuh Populasi Dunia Diprediksi Alami Obesitas pada 2035':

[Gambas:Video 20detik]



(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT