"Thrifting" Merugikan UMKM?

ADVERTISEMENT

Kolom

"Thrifting" Merugikan UMKM?

Rusnandari Retno Cahyani - detikNews
Jumat, 17 Mar 2023 16:10 WIB
Sejumlah pembeli memilih pakaian bekas atau yang lebih familiar dengan Thrifting yang dijual di salah satu kawasan di Jakarta, Selasa (14/3/2023). Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Teten Masduki mendorong agar pedagang barang bekas hasil impor ilegal untuk beralih menjual produk alternatif lain.
Foto: Grandyos Zafna
Jakarta -

Thrifting berbeda dengan garage sale dan preloved, tetapi hampir sama dengan awul-awul, merupakan sebuah tren membeli baju bekas impor yang seiring dengan ngetrennya aktivitas mengumpulkan pakaian bekas bermerek. Importasi baju bekas dari luar negeri semakin marak di dalam negeri. Tren dengan istilah thrifting itu juga menjamur di e-commerce hingga media sosial.

Untuk itu Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Teten Masduki mengatakan (detikcom, 13/3) pihaknya akan menegur e-commerce yang mewadahi penjualan baju impor bekas tersebut, sedangkan untuk media sosial itu agak susah.

Berdasarkan data laporan Populix bahwa social commerce (online) lewat platform media sosial semakin diminati oleh masyarakat Indonesia. TikTok Shop menjadi platform media sosial yang paling sering digunakan untuk berbelanja online di Indonesia. Jumlahnya mencapai 45 persen, disusul WhatsApp (21 persen), Facebook Shop (10 persen), dan Instagram Shopping (10 persen) dengan rata-rata uang yang dihabiskan untuk belanja online lewat media sosial adalah sekitar Rp 275.000 setiap bulannya.

Larangan dari pemerintah ini sesuai aturan terkait pelarangan impor baju bekas dari luar negeri tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Larangan tersebut pada tahun ini Kembali ramai karena tren thrifting menggerus pasar UMKM dalam negeri dan berdampak menurunkan lapangan kerja, yang mana tidak sejalan dengan gerakan bangga buatan Indonesia.

Berdasarkan aturannya memang sudah diatur sejak lama, tetapi ada masa tertentu gaya thrifting kembali menggeliat dan disukai masyarakat, di mana yang dilarang hanya impor baju bekasnya, sedangkan untuk pedagang baik offline atau online yang memang menjual baju bekas impor tidak akan ditindak, hanya mengimbau agar tidak membeli barang tersebut dan menegur.

Kebutuhan

Thrifting merupakan kebutuhan berdasarkan cuitan atau kolom komentar yang ada di media sosial. Pertama, juga sama kok membantu UMKM, di mana penjual juga tidak semuanya menengah ke atas, justru banyak yang anak-anak muda dengan kepiawaiannya menangkap peluang untuk berjualan di media sosial atau marketplace tanpa modal yang besar.

Kedua, merupakan pilihan buat orang yang ingin barang/produk branded tetapi tidak mampu membeli yang baru. Ketiga, thrifting menggeser omset, tetapi pilihan orang juga --tidak semua orang bersedia beli bekas/second.

Maka, ketika larangan tersebut hanya berupa teguran, akan tetap ada di marketplace atau media sosial yang menyediakan fitur shop, dalam artian ketika tutup berarti menutup peluang usaha UMKM yang sedang menjalankan bisnis usaha baju bekas. Oleh karena itu, apabila akan ditutup perlu sosialisasi dan penutupan berlaku mulai kapan dengan aturan yang jelas dan kuat berkekuatan hukum.

Kebutuhan masyarakat yang menyukai thrifting, sebetulnya di kota-kota besar sudah dimulai sejak awal 90-an dan puncak kejayaannya pada awal tahun 2000-an, sedangkan saat ini hanya menggeliat saja karena dukungan digitalisasi. Thrifting di Indonesia ada di Pasar Monza (Monginsidi Plaza) Tanjung Balai, Sumatera Utara; Blok M Square, Jakarta Selatan; Pasar Senen, Jakarta Pusat; Pasar Baru, Jakarta Pusat; Pasar Cimol Gedebage, Bandung; Pasar Gembong Tebasan, Surabaya; Pasar Putih, Bukittinggi; Pasar Pagi Tugu Pahlawan, Surabaya; New Makassar Mall; pasar klitikan Solo; XT Square Yogyakarta; pasar pagi Banjarmasin; dan di berbagai kota lainnya.

Sedangkan untuk online semua marketplace warna-warni yang ada di Indonesia mewadahi thrifting tersebut termasuk media sosial penyumbang terbesar thrifting di Indonesia. Bukan perkara mudah, karena menurut Ghilmansyah, dkk 2022 dalam penelitiannya dengan pendekatan fenomenologis yaitu alasan melakukan thrifting: (1) menjadi gaya hidup dengan motif melakukannya karena faktor lingkungan pertemanan, faktor hobi, faktor keluarga, faktor ekonomi, (2) motif harga yang murah, (3) motif barang limited edition, (4) motif value barang yang tinggi, (4) motif berjualan, dan (5) motif pengalaman belanja baru.

Siapkah pemerintah bersinergi antara Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan UKM, dan pemangku kepentingan lainnya yang menjaga dan mengawasi pelabuhan-pelabuhan kecil?

Rusnandari Retno Cahyani dosen Manajemen SDM, entrepreneurship, dan UMKM Universitas Sahid Surakarta

(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT